Bisnis.com, JAKARTA - Industri mebel membutuhkan trading houseatau rumah dagang terintegrasi untuk mendongkrak kinerja, daya saing, dan ekspor, sehingga mampu menyerap tenaga kerja di sektor padat karya tersebut lebih banyak lagi.
"Potensi industri mebel dan kerajinan ini sangat besar karena sebagian besar bahan baku ada di Indonesia, seperti kayu dan rotan. Namun sayang kurang efisien, padahal produktivitasnya bisa meningkat lagi," kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rachmat Gobel di Jakarta, Minggu (10/8/2014).
Pada akhir pekan ini Rachmat Gobel bertemu dengan sejumlah pelaku usaha mebel dan kerajinan Surabaya dan Mojokerto, Jawa Timur.
Pada kesempatan itu Rachmat yang juga anggota Komite Inovasi Nasional (KIN) mengunjungi bengkel kerja PT Kurnia Anggun yang 99% produksi mebelnya diekspor ke Amerika Serikat dan PT Prospek Era Manunggal yang memproduksi mebel rotan dan marmer untuk pasar hotel dan perumahan di dalam maupun luar negeri.
Ia menilai industri mebel menjadi tidak efisien ketika melakukan stok bahan baku seperti kayu dan rotan berbulan-bulan, karena khawatir tidak mendapat pasokan. "Stok yang banyak itu biaya," ujar pengusaha nasional itu.
Demikian pula dengan sisa kayu yang terbuang itu, kata dia, sebenarnya bisa dimanfaatkan industri mebel lainnya. Tata ruang produksi pun, menurut dia, bisa dibuat lebih nyaman dan efisien dalam penggunaan energi.
"Kalau ada trading house yang bisa memasok bahan baku dan informasi pasar, industri mebel ini akan semakin efisien dan berdaya saing," katanya.
Hal senada dikemukan pemilik PT Kurnia Anggun, Y Sumarno. Ia mengatakan rumah dagang (trading house) akan sangat membantu industri mebel dan kerajinan untuk mendapatkan bahan baku dengan mudah, mulai dari kayu dan rotan, hingga aksesoris dan bahan penolong seperti veneer.
Apalagi, saat ini pelaku usaha mebel dan kerajinan kesulitan mengikuti kebijakan pemerintah tentang sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang biayanya besar. "Kalau ada 'trading house', biar dia yang mengurus SVLK dan memasok kayu sesuai ketentuan pemerintah itu," ujar Sumarno yang sudah lebih dari 20 tahun menjadi pengusaha mebel.
Trading house, menurut dia, harus didorong pembentukannya guna mempermudah industri mebel dan kerajinan, tidak hanya akses bahan baku, tapi juga informasi pasar dan pembiayaan.
Ditambahkan Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Abdul Sobur, selama ini sekitar 5% dari bahan baku industri mebel dan kerajinan masih diimpor, terutama aksesoris. "Kalau ada trading house, dia bisa bekerja sama dengan industri lokal untuk membuat aksesoris di dalam negeri."
Industri mebel dan kerajinan Indonesia, lanjut dia, berada diurutan ke-13 di dunia, dengan ekspor sebesar US$1,7 miliar tahun lalu. "Tahun ini, saya yakin ekspornya bisa menembus US$2 miliar," ujarnya.
Hal itu berdasarkan peningkatan pesat ekspor mebel dan kerajinan Jatim yang menembus angka US$800 juta pada semester pertama 2014. "Jatim sendiri memberi kontribusi 65% ekspor mebel Indonesia," kata Sobur.
Saat ini, industri mebel dan kerajinan menyerap 500.000 tenaga kerja secara langsung dan 2,5 juta orang bekerja di industri pendukungnya.