Bisnis.com, JAKARTA– Setelah adanya keengganan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi tahun ini, imbauan dari berbagai kalangan, termasuk otoritas moneter pada pemerintah baru nantinya agar menaikkan harga BBM terus bermunculan.
Langkah tersebut dimaksudkan agar defisit APBN terkendali dan defisit transaksi berjalan menyempit.
Walaupun demikian, Direktur LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha mengatakan pemerintah baru harus memilih momentum yang tepat saat mengambil langkah tersebut agar tidak terjadi kenaikan laju inflasi layaknya pada 2013 lalu. Realisasi laju inflasi 2013 sebesar 8,38% meleset dari asumsi dalam APBN 2013 sebesar 7,2%.
“Sebenarnya dari beberapa penelitian, kenaikan harga BBM tidak memberikan dampak yang signifikan pada inflasi, sekitar 5%. Namun, timing-nya enggak tepat, barengan dengan hari raya dan liburan sekolah di saat demand tinggi,” ujarnya Kamis, (10/7/2014).
Pemerintah dalam tanggapannya terhadap pandangan fraksi-fraksi DPR mengenai RUU tentang pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN 2013 saat rapat paripurna dengan DPR (8/7/2014) menyatakan peningkatan laju inflasi tidak terlepas dari beberapa faktor geopolitik di global yang mengganggu pasokan energi di pasar internasional.
Kondisi tersebut turut mengganggu komoditas minyak dalam negeri karena Indonesia merupakan negara pengimpor minyak sejak 2004. Dampak dari kondisi itu, pemerintah mengambil kebijakan reformasi di bidang energi yakni penyesuaian tarif listrik dan kenaikan harga BBM.
Kenaikan tarif listrik dilakukan secara bertahap setiap triwulan mulai 1 Januari 2013 untuk golongan di atas 900VA den kenaikan tarif listrik sektor industri rata-rata sekitar 4,3%. Sementara, kenaikan harga jual BBM bersubdisi rata-rata 33,3% pada 22 Juni 2013. Nyatanya, kenaikan harga jual BBM bersubsidi itulah yang mendorong naik laju inflasi hingga mencapai double digit.
Kadek mengatakan jika kenaikan BBM dilakukan pada waktu yang tepat seperti April yang secara musiman mencatatkan deflasi, dampaknya tidak terlalu signifikan. Namun demikian, pemerintah dengan Bank Indonesia harus bisa memastikan nilai tukar rupiah dalam kondisi aman. “Sumbangan andil dari nilai tukar rupiah itu bisa sampai 30%.
Seperti diketahui, fluktuasi nilai tukar rupiah masih terjadi. Setelah sempat bertengger pada Rp12.103 per dolar AS pada dua pekan lalu, kurs tengah rupiah yang dipatok Bank Indonesia mulai menunjukkan penguatan hingga kemarin (10/7/2014) berada di Rp11.549 per dolar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati juga mengimbau agar pemerintah baru dapat memilih waktu yang tepat saat akan menaikkan harga subdisi BBM. Selain belajar dari tahun lalu yang betepatan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat di hari raya dan pergantian tahun ajaran baru, pembahasan seharusnya bisa lebih cepat.
“Pembahasan berlarut-larut memunculkan first and second effect yakni dengan munculnya ekspektasi yang bermacam-macam secara psikologis,” tuturnya.
Enny juga mengatakan harus ada antisipasi yang matang sebelum mengambil langkah kebijakan kenaikan harga BBM. Antisipasi bisa dilakukan dengan menyediakan pasokan energi alternatif baru, sehingga permintaan pada bbm bersubsidi akan menurun.