Bisnis.com, JAKARTA – Masalah pembebasan lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah berkapasitas 2 x 1.000 megawatt (MW) masih belum menemukan titik temu. Pemerintah seharusnya segera mengambil alih proyek kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) tersebut.
Direktur KPS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bastary Pandji Indra mengatakan jika pihak swasta terbukti tidak berhasil melakukan pembebasan lahan, pemerintah wajib mengambil alih.
“KPS ini proyek pemerintah yang dikerjasamakan dengan swasta, jadi tanggung jawabnya tetap di pemerintah. Nah, kalau itu memang tidak jalan oleh swasta, pemerintah harus segera ambil alih,” ujarnya, Kamis (15/5/2014).
Bastary mengatakan walaupun tender sudah dimenangkan pihak swasta yakni PT Bhimasena Power Indonesia (BPI), proyek tersebut masih dalam tanggung jawab pemerintah. “Dengan demikian, pemerintah bisa mengimplementasikan undang-undang untuk kepentingan umum.”
Menurutnya, pengambilan alih bukan pada kerja samanya, namun sebatas pada proses pengadaan lahan. Pemerintah bisa mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Komitmen pembiayaan dari Megaproyek yang diklaim akan menghasilkan PLTU terbesar di Asia Tenggara ini berakhir pada Oktober 2014. Melihat kondisi alotnya masalah pembebasan lahan, komitmen pembiayaan sudah tidak layak bila diperpanjang lagi.
“Ya harus bisa tahun ini [mulai realisasi]. Kan financial closing-nya Oktober ini. Walaupun pemberi pinjaman dana masih berkomitmen untuk memperpanjang lagi, namun akan berdampak Ini berdampak pada kepercayaan pasar [investor],” ungkapnya.
Proyek yang menjadi bagian dari Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tersebut awalnya model program KPS dengan Perpres 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
“Dulu itu memang ada tarik menarik antara pengadaan lahan. Dari proyek batang inilah, kita belajar terus merevisi perpres 67 [2005] menjadi 56 [2011] dimana tertulis di situ, bahwa pengadaan lahan harus disediakan pemerintah sebelum tender dilakukan,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan masuk melalui PT Perusahan Listrik Negara. Namun demikian, dari pantauan Bisnis, belum ada perubahan yang terlihat.
Ekonom Institute For Development Of Economics And Finance (Indef), Enny Sri Hartati menyambut baik langkah pemerintah jika menyerahkan proyek tersebut pada PLN.
“Mekanismenya sudah benar. Untuk kepentingan publik mestinya orang per orang tidak boleh menghambat. Ganti ruginya harus benar karena biasanya bermasalah di persoalan ganti rugi yang tidak sesuai,” ketika dihubungi Bisnis beberapa waktu yang lalu.
Sekadar informasi, BPI nantinya akan menyediakan listrik ke PLN selama 25 tahun. Dengan kebutuhan lahan 192 hektare, total investasi proyek ini sekitar US$4 miliar atau sekitar Rp46,42 triliun.