Bisnis.com, SEMARANG - Kementerian Keuangan mematangkan dua opsi guna menekan pagu subsidi bahan bakar minyak dalam APBN. Salah satunya, skema subsidi tetap (fix subsidy) Rp1.000-2.000/liter.
Abdurrahman, Kepala bidang Analisis Fiskal Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF, menuturkan besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN mempersempit porsi belanja produktif, seperti infrastruktur. Bahkan nilainya mencapai Rp300 triliun dengan kuota BBM bersubsidi sebanyak 48 juta kiloliter.
"Penaikan harga BBM Juni 2013 itu efektif tekan konsumsi. Melihat tiga bulan pertama 2014, kami proyeksi konsumsi sepanjang tahun tidak akan lebih dari kuota," katanya di sela seminar Kebijakan Fiskal 2014 dan Perkembangan Ekonomi Terkini, Kamis (24/4).
Pada tahun ini, imbuhnya, kebijakan pengendalian subsidi BBM kembali dikaji. Pasalnya, apabila tidak ada roadmap restrukturisasi subsidi BBM, APBN akan terbebani dan rentan terhadap gejolak nilai tukar, harga minyak mentah dunia, dan pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi.
Dorongan untuk merestrukturisasi skema subsidi BBM juga muncul dari kajian eratnya hubungan antara subsidi BBM yang tidak tepat sasaran dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan di Indonesia yang tergambar lewat indeks gini.
"Ada dua opsi, pertama penyesuaian harga seperti tahun lalu, kedua fix subsidy Rp1.000, Rp1.500, Rp2.000 per liter. Tapi ini masih pembahasan di bawah, masih harus diajukan menteri ke presiden," tuturnya.
Abdurrahman memaparkan skema penaikan harga BBM bersubsidi dapat meniru skema kenaikan tarif tenaga listrik yang diwacanakan pemerintah dan PLN secara bertahap per 3 bulan. Skema ini, dinilai ramah terhadap tingkat inflasi.
"Sebenarnya kalau bisa naik secara gradual sangat baik. Jadi ekspektasi kenaikan harga BBM subsidi sudah diantisipasi," ujarnya.
Adapun keunggulan skema fix subsidy, imbuhnya, APBN terbebas dari fluktuasi harga ICP dan nilai tukar rupiah. "Tinggal pastikan konsumsi BBM dikendalikan sesuai kuota."
Pada kesempatan terpisah, Kepala Divisi Akses Keuangan dan UMKM Bank Indonesia Wilayah V Jateng-DIY Putra Nusantara Stefanus menambahkan pemerintah harus mengambil langkah untuk menekan impor minyak mentah yang membebani neraca perdagangan.
"Subsidi harus dikurangi. Tahun ini ada wacana fix subsidi Rp3.000/liter, tapi mungkin baru diputuskan pada pemerintahan yang baru," kata Putra.
Dengan subsidi tetap Rp3.000/liter, saat harga keekonomian premium ada pada tingkat Rp9.500/liter, maka masyarakat harus membeli seharga Rp6.500/liter. Namun, ketika harga keekonomian premium naik menjadi Rp10.000/liter, harga beli di tingkat masyarakat meningkat menjadi Rp7.000/liter.