Bisnis.com, BANDUNG - Peraturan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Nomor 9 Tahun 2014 tentang kenaikan tarif listrik bagi industri kakap akan memberikan efek domino yang berujung peningkatan harga produk tekstil dan garmen.
“Dalam menentukan kebijakan, pemerintah lupa jika industri serat sintetis merupakan industri hulu yang memiliki pengaruh terhadap industri lain di bawahnya,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, Jumat (18/4/2014).
Dia menyebutkan jumlah perusahaan yang tergabung dalam asosiasi itu yang masuk ke golongan I3 berjumlah empat perusahaan, sementara I4 berjumlah dua perusahaan.
Redma memaparkan produk serat sintetis digunakan pelaku industri pemintalan sebagai bahan baku. Dengan kenaikan tarif listrik, Redma memproyeksikan harga produk serat sintetis akan naik 50%.
Dengan begitu, kegiatan industri pemintalan akan terkena dua dampak yakni kenaikan tarif listrik dan kenaikan harga bahan baku.
Setelah di kegiatan pemintalan, efek naiknya bahan baku juga akan berlanjut di sektor industri perajutan hingga garmen yang menyebabkan harga produk garmen akan meningkat hingga 60%.
Kondisi tersebut jelas akan mengganggu kinerja industri tekstil dan garmen secara keseluruhan karena akan sulit bersaing dengan produk impor di pasar domestik.
Menurutnya, kenaikan biaya produksi membuat harga serat sintetis menjadi 20 sen, jauh lebih mahal dibandingkan dari China yang hanya 10 sen.
Redma menilai kebijakan pemerintah untuk menaikan tarif listrik tidak sejalan dengan wacana meningkatkan daya saing industri manufaktur guna menghindari defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran.
“Harga bahan baku industri tekstil lokal akan dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga bahan baku dari China. Apabila produsen ramai-ramai beralih ke bahan baku impor jelas ini akan merusak neraca perdagangan,” ungkapnya. (Adi Ginanjar Maulana/Dimas Waradhitya Nugraha)