Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian berkukuh menginginkan adanya klausul investasi dalam rencana perjanjian bilateral Indonesia-Korea Selatan yang akan diwujudkan dalam Indonesia Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), meskipun pihak Kementerian Perdagangan menyatakan hal itu sulit dilakukan.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan investasi dibutuhkan dalam perjanjian lantaran perdagangan Indonesia dengan Korsel mengalami defisit.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada 2012 perdagangan Indonesia dengan Korsel masih surplus US$3,07 miliar. Namun, pada 2013, neraca perdagangan menjadi defisit US$170,15 juta.
Oleh sebab itu, pihaknya akan memperjuangkan untuk memasukkan klausul investasi dalam perjanjian tersebut. Saat ini, perundingan antara Indoensia dan Korsel sudah sampai perundingan ke-7. Dalam waktu dekat, akan ada perundingan ke-8 yang rencananya akan dilakukan di Indonesia.
“Untuk kepentingan nasional, kami ambil posisi terakhir yang akan ditawarkan ke Korea, tetapi tidak bisa saya katakan. Yang pasti, kami tetap usahakan harus ada investasi yang masuk,” kata Hidayat di Kemenperin, Senin (10/3/2014).
Investasi di sektor elektronik, petrokimia, baja, industri mineral dan alutsista dari Korea diharapkan bisa masuk melalui perjanjian IK-CEPA. Namun, kata Hidayat, hingga kini belum ada komitmen dari Korea untuk bisa investasi di sektor tersebut.
Sebagai contoh, dalam perjanjian IK-CEPA tidak ada klausul investasi di sektor alutsista. Dia berharap ada investasi di sektor mesin-mesin dan bahan komponen pesawat dari Korea di Indoensia.
Selain itu, dalam perjanjian, Korea meminta kemudahan bea masuk impor baja ke Indonesia. Menurut Hidayat, harus ada equal benefit-nya. “Kalau dibuka apa dampaknya, maka itu tidak bisa semudah itu, kami menawarkan package deal.”
Kemudian, di sektor otomotif. Pemerintah berharap Korea bisa berinvestasi di Indonesia. Menurut Hidayat, Korea masih mempertimbangkan lantaran pasar Indonesia sudah didominasi oleh jepang sehingga Korsel harus berhitung ulang.
Yang pasti, kata Hidayat, bila perjanjian hanya berupa perdagangan atau tarif, hal tersebut dinilai belum menguntungkan kedua belah pihak. Jadi, tetap harus ada klausul investasi.