Bisnis.com, JAKARTA - Sertifikasi halal Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara Asean lain. Padahal, kurang dari 2 tahun lagi, Indonesia harus siap dengan pasar terbuka di Asia Tenggara.
“Ini adalah momentum yang paling tepat untuk menuntaskan masalah ini. Sertifikasi halal di Indonesia baru mencapai kurang dari 20%, padahal di Malaysia sudah di atas 90%. Jelang pasar bebas, serbuan produk halal dari luar negeri semakin kencang, termasuk dari negara nonmuslim,” jelas Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya, Kamis (6/3/2014).
Menurut Bambang, untuk mempercepat sertifikasi halal guna mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, lembaga yang menerbitkan sertifikat harus berasal dari pemerintah dan bukan lembaga swasta/NGO yang memiliki dana terbatas.
Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) belum tuntas selama 9 tahun terakhir akibat silang pendapat antara pihak Kemenag dan MUI. Padahal, menurut Bambang, penuntasan isu sertifikasi halal adalah kebutuhan yang mendesak jelang era pasar bebas Asean.
Sejak 2005 hingga akhir 2011, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM-MUI) telah menerbitkan setidaknya 5.896 sertifikat halal, dengan jumlah produk mencapai 97.794 item dari 3.561 perusahaan.
Angka tersebut diklaim naik jika digabungkan dengan sertifikat halal yang diterbitkan LPPOM-MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir, LPPOM-MUI telah mengeluarkan 13.136 sertifikat halal dari total produk yang beredar di Indonesia sejumlah 155.774.
Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat dari 175.157 produk yang terdaftar saat ini, hanya sekitar 103.382 produk atau sekitar 59,01% yang telah mengantongi sertifikat halal MUI.