Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APPBI Nilai Permendag No.70 Kurang Pas Diterapkan

Kalangan pengusaha dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), menilai beberapa ketentuan dari Permendag No. 70 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, kurang tepat diterapkan bagi para pelaku usaha di bidang pusat perbelanjaan.
Bisnis Ritel/Jibi
Bisnis Ritel/Jibi

Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), menilai beberapa ketentuan dari Permendag No. 70 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, kurang tepat diterapkan bagi para pelaku usaha di bidang pusat perbelanjaan.

Peraturan Menteri Perdagangan  (Permendag) RI, Nomor  70/M-DAG/PER/12/2013, tertanggal  12 Desember 2013, itu antara lain menyebutkan pusat perbelanjaan wajib menyediakan barang dagangan produksi dalam negeri, paling sedikit 80% dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan.

Besaran biaya yang disebutkan dalam perjanjian sewa-menyewa atau jual beli, harus dinyatakan dalam mata uang rupiah.

"Kami bisa mengerti kekhawatiran pemerintah mengeluarkan Permendag itu, untuk melindungi produksi dalam negeri," kata Ellen Hidayat, Ketua DPD APPBI DKI, di Jakarta, Senin (6/1/14).

Namun, lanjutnya, seharusnya yang dibantu dan didorong oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan, adalah bagaimana membuat iklim para pelaku pasar lokal dapat meningkatkan kualitas dan kreativitasnya, dalam penyediaan dan produksi barang yang akan dipasarkan.

Selain itu meningkatkan jiwa ke wirausahaan, serta memberikan kelonggaran dalam pemberian modal usaha, baik melalui kredit berbunga ringan kepada para pelaku usaha produksi barang ataupun jasa di Indonesia.

"Dengan begitu, maka tanpa diatur pun hasil produksi akan diterima oleh masyarakat, dan diakui oleh konsumen, sehingga nantinya konsumen akan lebih tertarik untuk berbelanja produk tersebut," ungkapnya.

Saat ini, lanjut Ellen, pada kenyataannya banyak pengusaha lokal juga memproduksi sebagian produknya di negara tetangga, antara lain dari China. Memang ada yang melakukan impor terhadap sebagian raw meterial, namun ini juga tetap dianggap produk impor.

"Jadi, perlu juga dilakukan pengecekan apakah kini industri dalam negeri sudah dapat menyuplai berbagai jenis produk yang dibutuhkan masyarakat," katanya.

Selain itu, tambahnya, semestinya dilakukan perbaikan dan peningkatan dari hulu ke hilir terlebih dahulu, sebelum menentukan kewajiban pusat belanja menyediakan 80% barang dagangan produksi dalam negeri.

Ellen menuturkan mempelajari beberapa hal tersebut, dan dengan persiapan Indonesia di beberapa tahun ke depan yang akan masuk dalam perdagangan global, maka peraturan No. 70 tersebut menjadi tidak relevan dengan keputusan pemerintah menjadikan Indonesia dapat dilirik oleh investor asing.

"Iklim usaha di Indonesia sekarang tidak mudah. Jadi, apakah masih perlu para pelaku bisnis diberikan barikade peraturan tersebut?
Belum lagi kami tidak mengerti dari mana parameter 80% tersebut diperoleh," kata perempuan yang menjadi COO Baywalk Mall dan Emporium Pluit Mall itu.

Dia mengatakan saat ini memang pusat belanja selalu dianggfap sebagai sumber masalah, namun yang tidak pernah disoroti adalah bagaimana sebuah pusat belanja dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas dan dari semua lapisan.

"Umumnya setiap pusat perbelanjaan dapat menyerap 5.000-8.000 orang tenaga kerja, tergantung besar kecilnya luas lokasinya. Pusat belanja kini bukan hanya sebagai tempat belanja saja, tapi sudah menjadi sebuah tempat berkumpulnya keluarga dan melakukan berbagai kegiatan serta entertainment dan juga leisure," ujarnya.

Dia menjelaskan berbagai usaha dilakukan oleh setiap pusat belanja untuk menarik minat pengunjung, dan tentunya salah satu faktor utama adalah adanya tenant mix yang menarik dan tepat sasaran, diperlukan sebagai daya tarik agar para pengunjung mau berbelanja di pusat belanja tersebut.

Menurut dia, pengaturan Kemendag itu terlalu luas. Sebab, anggota APPBI juga dibagi dalam beberapa kategori. Ada yang memang berkecimpung khusus dalam menyediakan produk lokal, bahkan 100% lokal. Ini kan tergantung segmen yang akan ditujukan.

Untuk positioning mall kategori menengah ke atas, lanjutnya, tentunya akan ada bauran tenant mix produk lokal dan produk impor. Positioning pusat belanja dan percentage tenant mix produk impor dan lokal, juga diperhitungkan dengan cermat.

"Pengalaman dari anggota kami bahwa produk lokal juga selalu ditawarkan untuk masuk di pusat belanja. Namun selalu menjadi pertanyaan bagi para pelaku merek, apakah ada produk impor tertentu yang masuk. Kalau tidak ada, maka positioning mal tersebut dianggap turun, dan juga mereka enggan ikut masuk, takut malnya tidak ramai nantinya .

"Nah, ini kan hukum alam dalam dunia bisnis. Jadi menurut kami, biarkan saja pelaku usaha survive dengan bisnis to bisnis, sehingga iklim usaha akan menjadi lebih sehat. Kalaupun memang mau dialokasikan sekian persen, makanya juga perlu dimulai dengan percentage progresif.misanya  misalnya 20 % dulu, lalu kemudian ditinjau dan dinaikkan lagi. Jangan langsung 80%. Itu akan membuat pembelanja ke negara tetangga lagi.

Belum lagi yang menjadi pertanyaan pusat belanja adalah, apakah para retailer lokal memang semuanya sudah siap masuk ke dalam mal? Ini juga perlu suatu kajian yang lebih mendalam.
Kalau memang peraturan tersebut harus dijalankan, maka pusat belanja akan menjadi tidak menarik lagi bagi golongan menengah ke atas, dan shopping ke negara tetangga akan menjadi pilihan yang tepat.

Bagi pelaku retailier barang impor, katanya, tentunya membuat toko konsep standing alone, yang tidak berada di dalam mal akan menjadi solusi baru bagi mereka.

"Namun bagaimana dengan kelanjutan dari pusat belanja yang ada? Siapa yang akan menjadi tenant mereka nantinya? Lalu bagaimana pusat belanja dapat mempertahankan tenaga kerja yang ada? Ini perlu disimak lebih lanjut sebelum peraturan tersebut dijalankan," ungkap Ellen.

Selain itu, lanjutnua, mengenai adanya pernyataan bahwa pembayaran sewa di pusat belanja menggunakan dolar, untuk diketahui bahwa transaksi pembayaran sewa menggunakan rupiah.

"Kalaupun ada beberapa pusat belanja memakai US$, itupun kursnya di pack di angka Rp8.000 atau Rp9.000. Tidak bolehnya menggunkana US$ pada transaksi di dalam negeri, tidak sebatas pusat belanja saja. Kalau kita mau tour ke luar negeri, maka harga package tour kita memakai US$, beli tiket juga dengan US$, harga hotel juga dalam US$. Masih banyak lagi yang memakai US$," ujarnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper