Bisnis.com, JAKARTA – Pada 2014 jumlah investasi Indonesia ke properti luar negeri diproyeksikan akan berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Associate Director Consultancy and Research Knight Frank Hasan Pamudji menyatakan memasuki tahun baru ini para pemilik modal dalam negeri masih akan menunggu kondisi menjadi lebih baik.
Pasalnya, keadaan ekonomi sejumlah negara terutama di Asia Pasifik juga belum cukup kondusif akibat kebijakan pengurangan stimulus moneter (tappering off) oleh bank sentral Amerika Serikat.
“Jadi, akan ada pengurangan. Berkurang atau paling tidak sama dari tahun sebelumnya. Sebab pembeli kita mungkin masih melihat. Masih wait and see, masih menunggu. Masih banyak ketidakpastian,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (2/1/2014).
Di samping itu, sambungnya, situasi politik di sejumlah negara juga terbilang belum membaik, antara lain di India dan Thailand. Belum lagi, pengetatan regulasi (colling measure)guna meredam kenaikan harga sudah diberlakukan di China, Singapura dan Hong Kong.
Kendati begitu, Hasan meyakini celah investasi ke luar negeri masih terbuka sebab setiap negara menawarkan segmen dan kharakteristik yang berbeda. Apalagi, di tengah kondisi pelemahan mata uang di Asia Pasifik, investasi properti menjadi sarana yang tepat.
Selain itu, paparnya, capital gain properti di luar negeri masih tetap tumbuh, kendati tidak setinggi sebelumnya.
“Masalah kurs (nilai mata uang) selalu jadi keuntungan. Itu satu keuntungan tersendiri untuk investasi ke luar,” imbuhnya.
Hasil riset dari Knight Frank pada 2013 memperlihatkan tingginya minat investasi masyarakat Indonesia pada properti mewah di luar negeri. Data tersebut mencatatat pencarian properti mewah dari Indonesia melalui situs konsultan itu pada 2012 meningkat 50% dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun, jenis properti yang dituju masih didominasi oleh kondominium dan rumah tapak dengan segmen menengah pada kisaran harga mulai dari S$1 juta–S$5 juta.