Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perdagangan hanya akan fokus pada dua program yakni upaya penyeimbangan neraca perdagangan dan meminimalisir imported inflation seiring keputusan pengurangan stimulus moneter oleh Federal Reserve AS per 1 Januari 2014.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi memprediksi kurs rupiah belum akan menguat pasca pengurangan stimulus moneter dari US$10 miliar per bulan menjadi US$75 miliar per bulan. Kurs masih akan bergerak stabil pada kisaran Rp12.000/US$ pada tahun depan.
“Pelemahan rupiah akan berdampak pada aktivitas perdagangan internasional.Konsentrasi yang kami lakukan adalah tetap pada usaha untuk menekan defisit [neraca perdagangan] dan memimalkan imported inflation,” kata Bayu kepada wartawan, Jumat (20/12/2013).
Dia menambahkan upaya untuk menekan defisit neraca perdagangan adalah dengan mengkonversi bahan bakar impor dengan biofuel. Langkah tersebut mampu mengurangi tekanan impor migas yang menjadi sumber utama defisit.
Tahun depan, Pertamina dan PLN sudah komitmen untuk mengganti impor bahan bakar dengan biofuel sejumlah 3,7 juta ton dan 1,3 juta ton. Jadi, tahun depan impor migas akan berkurang hingga US$5 miliar.
Adapun, upaya untuk mengurangi tekanan inflasi akibat perubahan nilai tukar mata uang atau imported inflation adalah dengan meminimalisir semua biaya perdagangan hingga distribusi yang menjadi red tape barrier.
Dia optimistis perekonomian Indonesia masih bisa diandalkan dan membangun kepercayaan pasar karena pernah mengalami sebelumnya. Depresiasi rupiah seperti saat ini pernah dialami pada April 2001 dan Maret 2009.
“Kondisinya tidak akan buruk. Kalau diperbandingkan, kondisi makro perekonomian kita saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 2 tahun lalu,” ujarnya.
Keputusan pengurangan stimulus hingga US$85 miliar per bulan diambil dalam pertemuan Federal Open Market Committe (FOMC), Rabu siang waktu setempat. Dana tersebut akan digunakan untuk pembelian obligasi negara.