Bisnis.com, JAKARTA - Bonus demografi berupa populasi penduduk menjadi beban Indonesia menghadapi Asean Free Trade Area (AFTA) jika tidak dapat dikelola dengan baik. Menurut data sensus 2010 jumlah usia produktif (15-59) tahun penduduk Indonesia mencapai 150 juta jiwa.
Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) jumlah usia produktif mencapai 63% dari seluruh penduduk Indonesia. “jika negara tidak dapat menurunkan laju pertambahan penduduk, maka pada 2050 jumlah penduduk Indonesia mencapai 370 juta jiwa,” ujar Kepala BKKBN Fasli Jalal di Jakarta hari ini, Kamis (12/12/2013).
Dia mengatakan, laju pertumbuhan penduduk Indonesia 1,49% pertahun. Momentum bonus demografi menurutnya dapat menciptakan peluang sebagai faktor penggerak dalam meningkatkan pembangunan ekonomi negara namun, pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap hal tersebut. “jika Indonesia gagal memanfaatkan momentum ini maka yang terjadi adalah demographic disaster,” ujar Fasli.
Senada dengan Fasli, Wakil Ketua DPR RI Mohamad Sohibul Iman mengatakan jika pertumbuhan penduduk tidak dapat dikontrol, maka dikemudian hari hal tersebut akan menjadi beban bagi Indonesia.
“penyediaan anggaran akan lebih besar untuk program kesehatan, pendidikan, ketenaga kerjaan, sandang, pangan dan papan,” ujarnya.
Menurutnya dua tahun kedepan Indonesia akan memasuki zona AFTA, di mana tenaga kerja dari berbagai negara dapat masuk dan bersaing di negara ini. Hal tersebut menurutnya menuntut daya saing dan kompetensi yang tinggi dari penduduk usia produktif Indonesia.
Kebijakan penyiapan sumber daya manusia yang berdaya saing menurutnya bisa didapatkan dengan program yang serasi dari pemerintah pusat hingga daerah. Kebijakan kependudukan tingkat provinsi, kabupaten/kota ditangani oleh beberapa institusi yang berbeda sehingga hal tersebut mengakibatkan tumpang tindih kebijakan.
Dia mengatakan penyerasian kebijakan dapat dilakukan dengan tiga hal, yakni regulasi, kebijakan, dan kelembagaan. Saat ini banyak regulasi yang secara langsung maupun tidak langsung bertentangan dengan undang-undang No. 52/2009 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga.
Kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan program KKB menurutnya seperti jaminan persalinan (Jampersal) yang diberikan juga untuk kelahiran anak ketiga, keempat dan seterusnya. Kelembagaan KB di kabupaten/kota bervariasi, sehingga program KB menjadi tidak prioritas lagi.
Solusi kongkret dalam pembangunan penduduk secara nasional menurutnya, dengan penataan kelembagaan dari pusat hingga kabupaten/kota yang disesuaikan dengan amanat undang-undang, yaitu penyiapan SDM yang terlatih untuk mendorong program kependudukan dan keluarga berencana di masyarakat.
Selanjutnya menurut Iman, penyediaan anggaran yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan keluarga KKB baik dari APBN, APBD I dan APBD II juga memiliki peranan yang sangat penting. Keterlibatan para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah sangat penting dalam menentukan arah pembangunan program kependudukan.