Bisnis.com, JAKARTA– Sejumlah kalangan menilai 2014 merupakan tahun yang dipenuhi ketidakpastian baik ekonomi maupun politik, sehingga pemerintah perlu mengantisipasi segala kemungkinan yang ada.
Ekonom senior Standard Chartered Plc Fauzi Ichsan mendesak pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang efektif akibat depresiasi rupiah, defisit neraca transaksi berjalan, dan keputusan pengurangan (tapering off) stimulus oleh bank sentral Amerika serikat The Federal reserve.
“Apalagi tahun depan tahun pemilu dan banyak menteri yang berurusan dengan bidang ekonomi nyalon, bakal tidak keurus ekonomi kita,” tuturnya di Jakarta, Rabu (11/12/2013).
Semua hal tersebut, ungkapnya, juga tergantung dengan situasi politik yang ada. Jika tidak ada keributan yang berarti, dia memperkirakan kondisi ekonominya justru akan menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Dirinya menjelaskan beban terberat yang menekan defisit neraca transaksi berjalan masih didominasi oleh tingginya impor gas, bahan baku, dan barang modal.
Terkait dengan paket kebijakan ekonomi jilid II yang baru saja diluncurkan, dia berpendapat dampaknya hanya akan bertahan dalam 6-9 bulan ke depan.
“Kalau mau cepat ya naikin BBM (bahan bakar minyak), tapi itu tidak mungkin karena 2014 adalah tahun pemilu,” tambahnya.
Selain itu, dampak pelemahan rupiah dapat merembet pada kenaikan subsidi BBM sehingga menekan defisit neraca transaksi berjalan semakin dalam.
Di lain pihak, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional Chris Kanter mengatakan pemerintah telah menghabiskan Rp330 triliun hanya untuk subsidi BBM.
“Impor migas membengkak dan depresiasi rupiah masih berlanjut, saya kira situasi saat ini cukup fundamental,” ungkapnya.
Menurutnya, situasi ketidakpastian pada 2014 memaksa kalangan pengusaha juga tidak memiliki pilihan selain 'mengecangkan ikat pinggang'.
“Bahkan rencana ekspansi bakal terbatas sekali pada tahun depan,” tekannya.