Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah merevisi aturan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) untuk mendorong ekspor dan mengurangi defisit neraca perdagangan.
Pokok-pokok kebijakan yang mengalami perubahan antara lain pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang tidak lagi dipungut.
Sebelumnya, penerima fasilitas KITE harus membayar PPN dan PPnBM di muka yang kemudian dapat direstitusi. Namun pada praktiknya, restitusi baru dikembalikan 1-2 tahun kemudian sejak tanggal pengajuan sehingga mengganggu cash flow eksportir.
Selain penghapusan penangguhan PPN dan PPnBM, otoritas fiskal pun menyederhanakan prosedur perizinan dan mempermudah fasilitas KITE.
Pertama, penyederhanaan persyaratan dan penerapan otomasi dalam pengajuan perizinan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengembalian.
Kedua, perluasan objek fasilitas, meliputi semua bahan baku dan bahan penolong yang digunakan untuk proses produksi dalam rangka ekspor sehingga dapat mengurangi biaya produksi.
Ketiga, penyederhanaan prosedur pelayanan impor dan ekspor di mana dimungkinkan mengimpor barang KITE bersama-sama dengan barang impor non KITE serta mengekspor barang KITE bersama dengan barang ekspor perusahaan KITE lainnya sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya dan waktu impor/ekspor.
Keempat, kuota impor atas bahan baku/penolong tidak dibatasi seperti sebelumnya atau bisa sampai dengan kapasitas produksi maksimal dan dalam jangka waktu selama perusahaan berdiri.
Kelima, masa pembebasan/pengembalian dan jangka waktu realisasi ekspor dapat diperpanjang, yakni disesuaikan dengan sifat produksi barang atau disesuaikan dengan kondisi khusus yang di luar kendali perusahaan, seperti pembatalan kontrak/pembelian, keadaan luar biasa, seperti kelesuan ekonomi global atau kondisi lainnya yang lazim dalam dunia bisnis.
Ketentuan baru ini juga mengakui keadaan kahar (force majeur) dalam laporan pertanggungjawaban perusahaan.
Keenam, kemudahan perubahan lokasi penimbunan/pembongkaran dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Ditjen Bea dan Cukai melalui media elektronik.
Ketujuh, simplifikasi laporan menjadi hanya sekali dalam masa pembebasan dari sebelumnya setiap 6 bulan sekali.
Kedelapan, penerapan risk management dalam pelayanan dan pengawasan, terutama didasarkan pada penilaian atas kemampuan perusahaan dalam pengelolaan sistem pengendalian internal dan sistem pencatatan persediaan bahan baku dan hasil produksinya (inventori). Semakin baik perusahaan, maka semakin banyak fasilitas yang dapat dinikmati sesuai prinsip fairness.
Kesembilan, pengakuan terhadap corporate guarantee bagi perusahaan yang bereputasi baik sebagai instrumen jaminan.
Kesepuluh, dimungkinkan menyerahkan sebagian kegiatan kepada pihak ketiga (subkontrak) atau seluruh kegiatan produksi bagi perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu yang terkait dengan profil/reputasi.
Kesebelas, sinergi dengan fasilitas kepabeanan lainnya, yakni membolehkan penggunaan bahan baku yang berasal dari pembelian dari gudang berikat dan kawasan berikat.
Keduabelas, perusahaan dapat memanfaatkan beberapa fasilitas kepabeanan/perpajakan secara bersamaan (fasilitas ganda) dengan tujuan untuk memperkuat dan mengefisienkan biaya produksi dan logistik serta mengurangi devisa impor karena bahan baku dapat diperoleh dari fasilitas kepabeanan/perpajakan lainnya.
Ketigabelas, penyempurnaan penggunaan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan produksi KITE, misalnya pemenuhan persyaratan dan pemberian izin cukup disampaikan dengan media sofcopy. Penggunaan TI juga memperpendek janji layanan kepada pengguna jasa dari 45 hari menjadi 30 hari.