Bisnis.com, BANDUNG - Kamar Dagang dan Industri Kota Bandung segera mengajukan judicial review Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 tentang Perpajakan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua Kadin Kota Bandung Deden Y. Hidayat mengatakan pihaknya mengambil langkah hukum karena keberadaan PP tersebut sangat memberatkan pengusaha UMKM di sektor informal. Saat ini, ajuan judicial review tersebut sudah matang dikaji.
“Jika selesai, kami akan langsung ajukan judicial review ke MK," katanya, Jumat (15/11).
Menurutnya, PP tersebut akan membunuh eksistensi UMKM yang saat ini masih dihadang sejumlah persoalan. Jika pengusaha sektor informal tidak dikenakan pajak, maka Kadin tidak akan keberatan.
"Kami tidak ingin pengusaha kecil di Kota Bandung mati. Kalau PP dikhususkan untuk pengusaha di sektor formal, kami sama sekali tidak keberatan," katanya.
Jumlah pelaku UMKM sektor informal di Kota Bandung menurutnya sangat besar. Pertumbuhan UMKM ini menjadi tulang punggung ekonomi Bandung yang banyak menawarkan sektor jasa.
Oleh karena tidak memiliki sumber daya alam, maka Kota Bandung mengandalkan sumber daya manusia yang bergerak di sektor informal.
Langkah judicial review menurutnya menantang apakah pemerintah memiliki keberpihakan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah.
"Semoga saja, judicial review yang nanti akan kita upayakan bisa dikabulkan MK," katanya.
Kadin menggugat ke MK mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Kepala Dinas KUKM Jawa Barat, Anton Gustoni mengatakan pengenaan pajak PPh 1% tidak boleh dipukul rata kepada seluruh pengusaha UKM. Kadin juga keberatan pengusaha dengan omzet ratusan juta dikenakan PPh.
“Tidak semua pengusaha UKM sanggup membayar PPh 1%, terutama pengusaha mikro. Kalau yang omzetnya miliaran baru boleh lah,” katanya.
Anton menilai pengenaan PPh kepada pengusaha mikro akan berdampak pada keberlangsungan usaha. Hal ini karena kesulitan modal yang dialami para pengusaha mikro telah memberatkan keberlangsungan usaha mereka.
Pemprov Jabar menjelaskan sejumlah pengusaha mikro di Jabar telah mengungkapkan keberatannya terhadap pengenaan PPh 1%, diantaranya pengusaha tekstil, kerajinan tangan, makanan dan minuman.
“Para pengusaha mikro belum mau membayar PPh karena dirasa sangat berat,” katanya.
Padahal, PP No. 46 Tahun 2013 telah diterbitkan 12 Juni lalu dan berlaku efektif Juli 2013. Dalam PP ini, pelaku UKM yang memiliki omzet kurang dari Rp4,8 miliar per tahun akan dikenakan PPh 1%.
Sekjen Indonesia Marketing Association (IMA) Jabar Poppy Rufaidah mengaku setuju dengan pemungutan pajak terhadap kalangan UMKM karena akan memotivasi para pelakunya untuk meningkatkan diri baik dari sisi produksi maupun kualitas.
"Persoalannya kalau mereka mau menaikkan itu harus ada subsidi lain semisal dengan adanya promosi maupun sertifikasi terhadap produknya," katanya.
Mengenai adanya kemungkinan gulung tikar bagi para pelaku UMKM akibat kutipan tersebut, menurutnya hal itu bisa saja terjadi terutama bagi para pelaku yang belum berusia setahun.
Dengan kata lain, pemerintah harus bisa membedakan mana pelaku yang sudah termasuk kategori sunrise [pengusaha yang memiliki kemampuan besar] dan sunset industry [pelaku yang rawan terpukul kebijakan tersebut].
Sementara itu, Ketua Hipmi Jabar Yedi Karyadi meminta pemerintah memberikan nilai tambah bagi pengusaha UKM untuk bisa meningkatkan omzet ataupun keuntungannya.
Menurutnya, dengan pungutan itu pelaku UKM yang memiliki penghasilan dibawah Rp4,8 miliar dalam satu tahun akan dikenakan pajak.
“Pengusaha pasti keberatan. Sebagai kompensasinya pemerintah harus memberikan kepastian mengenai dampak langsung dari kutipan itu,” katanya. (k6,k10,k57)