Bisnis.com, JAKARTA - Seluruh pemangku kepentingan di sektor kehutanan perlu bersinergi guna membenahi ketidakpastian kawasan hutan yang membuat kinerja sektor ini semakin layu.
"Kalau tidak ada kebijakan yang mendukung, tidak lama lagi semua berhenti beroperasi," ujar Nana Suparna, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Senin (11/11).
Dia mengungkapkan itu dalam diskusi Mengurai Permasalahan Kepastian Kawasan Hutan dan Solusinya untuk Mendukung Koridor Ekonomi Indonesia yang diselenggarakan Bisnis, Senin (11/11).
Menurut Nana, usaha kehutanan baik hutan alam maupun hutan tanaman menunjukkan tren yang negatif.
Berdasarkan catatan APHI, hak pengusahaan hutan (HPH) yang aktif beroperasi hanya 39% atau 115 dari total 294 unit HPH. Kondisi ini menurun dibandingkan pada 2008 sebanyak 212 unit, 188 unit pada 2009, 167 unit pada 2010, dan 143 unit pada 2011. Adapun HTI yang aktif tercatat hanya 45% atau 106 dari total 235 unit HTI.
Penyebabnya, lanjut Nana, mulai dari harga log pasar domestik yang rendah, banyaknya pungutan, perambahan, konflik sosial, dan ekonomi berbiaya tinggi.
Selain itu, konflik tenurial yang terjadi di areal kerja pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) menjadi salah satu masalah yang dihadapi pelaku usaha kehutanan.
Nana mencontohkan IUPHHK-HTI PT Rimba Elok di Kalimantan Tengah sedang berkonflik dengan PT Mitra Unggul Perkasa yang perkebunan sawitnya berada di dalam areal kerja PT Rimba Elok. Sampai saat ini, konflik masih berproses di Mahkamah Agung.
"Tumpang tindih dengan perusahaan tambang juga sering terjadi. Bahkan di beberapa IUPHHK luasnya lebih dari 10%, karena perusahaan tambangnya lebih dari satu," katanya.
Konflik tenurial yang berkelanjutan menimbulkan ketidakpastian bisnis dan membuat kinerja sektor ini semakin loyo.
Dalam diskusi tersebut, Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan Bambang Supijanto mengungkapkan selain berpegang pada regulasi, pendekatan komunikatif juga diperlukan guna menuntaskan konflik tenurial di kawasan hutan.
Adapun perubahan yang terjadi paska putusan MK No.35/PUU-X/2012 tidak berlaku surut dan pengakuan terhadap hutan adat harus dituangkan dalam peraturan daerah. Putusan MK No.35/PUU-X/2012 pada intinya menetapkan bahwa hutan adat tidak lagi ditempatkan sebagai bagian dari hutan negara namun dikembalikan sebagai bagian dari wilayah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (HU-MHA).
"Kuncinya ini Perda. Tapi saat ini baru ada delapan Pemda yang menyerahkan Perda hutan adat ke saya dan hanya dua yang ada peta spasialnya," kata Bambang.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Nurhasan Ismail mengatakan masyarakat hukum adat harus dilibatkan dalam setiap IUPHHK, izin tambang, maupun izin kebun yang berdiri di atas hutan adat.
Partisipasi masyarakat adat diharapkan dapat meminimalisir konflik, memberikan kepastian usaha, kejelasan nominal kompensasi, hingga bentuk kemitraan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Koordinator Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menegaskan ketidakhadiran masyarakat adat dalam proses penerbitan izin membuat terjadinya tumpang tindih konsesi dan semakin terpojoknya masyarakat adat.
Hal tersebut misalnya terjadi di Kabupaten Paser Kalimantan Timur dimana klaim hutan adat Lusan seluas 53.542 hektare dipakai untuk kegiatan HTI seluas 27.683 ha, pertambangan seluas lebih dari 20.000 ha, dan perkebunan seluas 3.026 ha.
"Izin keluar tanpa sepengetahuan mereka. Yang tersisa sebagai teritori masyarakat Lusan itu hanya 409 ha," kata Rukka.
AMAN, imbuhnya, merekomendasikan agar pemerintah membantuk suatu Komisi Nasional Masyarakat Adat guna menjembatani kepentingan negara, pengusaha, dan masyarakat hukum adat terkait penggunaan kawasan hutan.
Senada dengan sektor kehutanan, sektor perkebunan dan pertambangan juga mengeluhkan ketidakpastian penggunaan kawasan hutan yang sering kali berbenturan dengan masyarakat adat.
"Harus ada mekanisme perizinan yang jelas, jangan justru menimbulkan dualisme karena harus mengurus birokrasi di pemerintahan dan birokrasi di masyarakat adat. Ini justru menimbulkan ketidakpastian dan menambah biaya," kata Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono.
Adapun dari sektor pertambangan, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) Syahrir menegaskan perlunya sinkronisasi kebijakan pusat-daerah agar keberadaan masyarakat adat dapat diakomodir dan tidak justru menimbulkan konflik.
"Kalau tambang itu seolah-olah kewenangan penuh di daerah, walaupun izinnya dimohonkan di kawasan hutan. Kalau perlu revisi regulasi supaya sinkron," ujarnya.
Nana Suparna menambahkan sektor bisnis kehutanan membutuhkan kepastian terkait pemanfaatan kawasan hutan. Bila diperlukan, Nana mengusulkan agar pemerintah membentuk suatu badan khusus yang tugasnya menyelesaikan konflik terkait penggunaan kawasan hutan, sehingga tidak perlu masuk ke ranah pidana.