Bisnis.com, SURABAYA - Sejumlah kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi di Indonesia belum efektif, karena tidak terencana secara baik.
Direktur Indonesia Resources Studies Marwan Batubara menguraikan tidak ada sanksi tegas bagi pelanggar program pengendalian BBM bersubsidi.
"Penelitian di Jawa hanya 33% kendaraan pemerintah dan BUMN yang menggunakan BBM nonsubsidi. Itu di Jawa bagaimana di luar pulau yang fasilitasnya lebih sedikit," jelasnya di Surabaya, Rabu (9/10/2013).
Selain mewajibkan kendaraan dinas membeli BBM nosubsidi, program pengendalian juga dilakukan dengan program kendaraan berbahan bakar gas. Adapula program kendali pembelian melalui RFID.
Marwan menguraikan program penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan diluncurkan 2006. Iran, Pakistan, Thailand dan Malaysia saat yang sama melakukan hal serupa.
Setelah tujuh tahun berlalu, kendaraan pengguna gas di Iran 2 juta unit, Pakistan 3 juta unit, Thailand 400.000 dan Malaysia 200.000. Adapun di Indonesia semula ada 10.000 kendaraan kini hanya 20.000 kendaraan.
"Jadi kalau mau membagi konverter hanya 4.000 enggak sebanding dengan jumlah kendaraan, enggak signifikan," tegasnya menanggapi rencana pembagian 4.000 konverter gas bagi kendaraan di 2013.
Program pemasangan RFID yang bisa memantau konsumsi pembelian BBM setiap kendaraan juga belum massal. Marwan menilai pemerintah perlu menyiapkan rencana lebih detail soal pengendalian BBM bersubsidi.
"Harus ada roadmap dan terukur, termasuk sanksinya, tidak hanya reaktif," tambahnya.
Subsidi pemerintah di bahan bakar minyak pada 2011 Rp165,1 triliun dan pada 2012 Rp233,4 triliun. Adapun pada 2013 dianggarkan Rp193,8 triliun dan Rp210,73 triliun pada 2014. Jumlah subsidi ada tren menaik setiap tahun.
External Communication Manager Pertamina Jekson Simanjuntak menilai subsidi bahan bakar naik akibat impor. Bila kapasitas produksi nasional 1 juta barel/hari sedangkan konsumsi 1,4 juta barel/hari maka sisanya harus impor.
Di sisi lain, kapasitas pengolahan kilang di tanah air tidak bertambah. Meski ada sejumlah kerja sama penelitian sampai saat ini tidak ada kilang yang resmi mulai dibangun di Indonesia.
"Swasta enggan karena margin US$0,40 sen per barel, rendah untungnya, makanya harus pemerintah yang masuk," jelasnya di sela-sela Pertamina Goes To Campus di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, kemarin.
Adapun di sisi pengendalian konsumsi, sambungnya, memang belum semua program lancar. Pemasangan RFID yang ditargetkan selesai Desember kemungkinan tak tercapai.
Migrasi dari premium ke gas, sambungnya, hanya siap di Jakarta, setidaknya ada 6 titik stasiun bahan bakar gas milik Pertamina. Terbaru satu stasiun didirikan di Bali.
"Tapi kami dengar akan ada kemudahan membuka stasiun pengisian gas dengan nilai kredit Rp2 miliar," jelasnya.