Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah berharap kinerja industri makanan dan minuman tahun ini bisa tetap stabil. Pasalnya, tahun ini diklaim sebagai tahun yang berat untuk industri makanan dan minuman.
Direktur Jenderal Agro Industri Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan kinerja industri makanan dan minuman tahun ini memang menurun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan industri mamin menengah besar pada kuartal I 2013 dibandingkan dengan kuartal IV 2012, sektor makanan turun 12,47% dan minuman turun 4,81%. Sedangkan pada triwulan II 2013 sektor makanan naik 4,47% dan minuman 0,61% dibandingkan dengan kuartal I 2013. Artinya, pertumbuhan industri mamin semester I 2013 masih lebih rendah dibandingkan akhir 2012.
“Kalau sekarang yang diharapkan kestabilan, memang sulit bisa tumbuh 10% karena semester I/2013 rendah. Pada semester II/2013 diharapkan lebih tinggi dari semester I/2013, mungkin 5%,” kata Panggah kepada Bisnis, Selasa (17/9/2013).
Untuk menjaga kinerja industri mamin agar tetap stabil, diharapkan adanya kelonggaran untuk mendapatkan bahan baku. Menurutnya, utilisasi pabrik masih banyak yang belum full.
“Sekarang banyak hambatan kaya yang terkait swasembada-swasembada itu. Prinsipnya kan sebenarnya impor tidak dikehendaki, banyak resiko, sehingga dibutuhkan kelonggaran bahan baku karena utilisasi belum full,” tambahnya.
Pelaku usaha industri makanan dan minuman menilai paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah tidak menyentuh sektor makanan dan minuman. Pertumbuhan industri ini diperkirakan hanya 5% atau lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan 2012 yang 7,74%.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani mengatakan tahun ini ada beberapa persoalan besar di sektor industri makanan dan minuman.
Pertama, lesunya pasar dalam negeri. Hal ini terlihat dari masa puasa dan Lebaran, industri makanan dan minuman diritel hanya naik 10%-15% dari ekspetasi 20%-30% dibandingkan Juni atau triwulan II.
Hambatan lainnya mengenai ketenagakerjaan. Kenaikan upah minimum regional (UMR) yang tinggi hingga rata-rata 40% serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 19/2012 tentang out sourcing, menyebabkan industri mamin mengurangi pekerja dan tenaga-tenaga kontrak, serta mengalihkan ke mekanisasi.
Lantaran hal ini, lanjut Franky, pihaknya berharap pemerintah memperhatikan sektor makanan dan minuman. Pasalnya, sektor ini merupakan salah satu industri padat karya yang membutuhkan jaminan penetapan upah yang mampu mendukung pertumbuhan industri dan berdaya saing.
“Kendala lainnya antara lain, melemahnya nilai tukar rupiah yang di atas Rp10.000, harga energi yang semakin mahal, terkendalanya ketersediaan pangan olahan daging dan tingginya harga-harga bahan baku seperti bawang, cabai, telur, dan daging ayam.”