Bisnis.com, JAKARTA – RAPBN 2014 dianggap belum mendukung program penghiliran industri di dalam negeri, terlihat dari minimnya insentif fiskal untuk memacu industri hilir dalam rancangan anggaran tersebut.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto menilai insentif fiskal yang direncanakan pemerintah dalam RAPBN 2014 serba tanggung.
Dia mencontohkan implementasi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan seluruh pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) mengoperasikan fasilitas pengolahan (smelter) mulai 12 Januari 2014, belum tercermin dalam postur RAPBN 2014.
Dia melihat tidak ada keseriusan pemerintah membantu dunia usaha menyelesaikan berbagai kendala, seperti minimnya biaya investasi, rendahnya produksi bijih tambang mineral, jaminan pasokan listrik, minimnya infrastruktur transportasi dan teknologi membangun smelter.
“Memang (insentif fiskal) tidak langsung terlihat dalam postur RAPBN, tetapi kebijakan fiskal harus masuk dalam rambu-rambu APBN. Jangan takut ini akan mengurangi penerimaan pajak,” ujarnya, Kamis (5/9).
Kebijakan pemerintah yang membatalkan divestasi industri smelter baru-baru ini juga dinilainya terlambat karena sudah mendekati 2014. Sebelumnya, akibat kebijakan pemerintah yang merencanakan divestasi industri hilir pertambangan, pelaku usaha enggan membangun smelter dari dulu.
Insentif yang minim juga berimbas pada pembangunan kilang yang seret di Tanah Air hampir dua dekade. Kilang terakhir yang dibangun adalah Kilang Balongan pada 1994, padahal kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat.
Airlangga mencatat kapasitas kilang penyulingan di dalam negeri hanya 1 juta barel, sedangkan kebutuhan mencapai 1,5 juta barel sehingga Indonesia harus mengimpor hasil minyak 500.000 barel.
Karena tidak ada insentif, rencana pembangunan kilang oleh dua investor, yakni Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum Corporation, terhambat.
“Indonesia memilih mengimpor BBM dari Singapura. Singapura memiliki dua kilang yang seluruh produksinya diimpor oleh Indonesia. Tidak ada political will dari pemerintah. Isu ini tidak di-address,” ujarnya.
Airlangga menilai berbagai rencana relaksasi aturan investasi, seperti daftar negatif investasi (DNI), tax holiday dan tax allowance, yang dilakukan setengah-setengah tidak akan membantu upaya penghiliran di dalam negeri.
Anggota Fraksi Partai Golkar ini menyebutkan 3 pabrik polyester di Indonesia, yakni PT Indorama Syntetic, PT Asia Pasific Fibers dan PT Tifico Fiber Indonesia, yang sudah lama beroperasi, hingga kini belum memperoleh insentif. Padahal, industri tersebut mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku.