Bisnis.com, BANDUNG — Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Jawa Barat menganggap pemerintah sengaja mempermainkan perajin tahu dan tempe dengan cara membiarkan harga kedelai bergerak tak wajar.
Ketua Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Jabar Asep Nurdin mengatakan salah satu bukti ketidakseriusan pemerintah itu berupa lambatnya pelaksanaan Perpres 32/2013 tentang fungsi Bulog yang dibuat sejak Mei lalu, tapi baru akan dilaksanakan saat ini.
“Bulog baru mau mengimpor kedelai 20.000 ton. Ini pun setelah kami ingatkan pemerintah. Dan kami tidak puas dengan kuota sebanyak itu,” katanya, Rabu (4/9).
Kopti Jabar memastikan pihaknya akan ikut bergabung dalam aksi solidaritas nasional untuk tidak berjualan dan memroduksi tahu dan tempe pada 9-11 September mendatang.
Aksi tersebut dilakukan untuk mengingatkan pemerintah agar serius dalam menyediakan kedelai yang memadai sehingga harga bisa turun dan stabil.
“Ada tiga hal yang menjadi agenda tuntutan kami dalam aksi tersebut selain menurunkan dan menstabilkan harga kedelai, swasembada kedelai dan melaksanakan peraturan presiden [perpres] 32/2013 tentang fungsi Bulog,” ujarnya.
Dia menyebutkan dalam aksinya nanti, perajin maupun pedagang tahu tempe tidak diperkenankan turun ke jalan, tetapi cukup menghentikan produksi dan jualan saja.
“Anggota resmi kami mencapai 10.000 belum termasuk non-anggota yang diperkirakan 5.000. Yang tidak mengikuti imbauan berhenti jualan hanya akan mendapatkan sanksi moral saja,” katanya.
Menurutnya, akibat melonjaknya harga kedelai di pasaran secara tidak wajar, sedikitnya 1.000 perajin tahu dan tempe di Jabar telah berhenti produksi sejak seminggu lalu.
"Jumlah anggota kami yang telah gulung tikar mungkin jumlahnya sudah mencapai 10%. Rerata mereka itu jumlah produksinya dibawah 50 kilogram dengan jumlah pekerja dua orang," ujarnya.
Berbeda dengan produsen skala besar yang mampu bertahan sewaktu harga kedelai impor melesat tinggi. Mereka menyiapkan langkah agar tak merugi. "Produsen besar bisa menutup kerugian dengan menjual onggokan hasil olahan kedelai," ucapnya.
Produsen tahu tempe memilih kedelai impor lantaran jenis kedelai lokal jumlahnya minim. Perajin juga enggan mengolah kedelai lokal karena kualitasnya lebih rendah dan dianggap lembek.
"Kedelai lokal itu sekitar 20% di pasaran, sulit dicari. Selain itu, keberadaan kedelai lokal tak mampu memenuhi tingginya kebutuhan produsen," ujarnya.
Yang lebih memprihatinkan lagi, ratusan perajin tahu tempe di Kab. Cianjur harus menelan kerugian materi hingga Rp100.000 setiap kali produksi sehingga terancam bangkrut.
Bendahara Kopti Kabupaten Cianjur Warjani mengatakan kerugian itu akibat meroketnya harga kedelai hingga menembus Rp9.500 per kilogram semenjak terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
"Dalam sepekan kenaikan kedelai telah mencapai Rp2.000 per kilonya. Kondisi tersebut sangat merugikan bagi para pengusaha tahu tempe," katanya.
Untuk meminimalisir angka kerugian tersebut para perajin pada umumnya terpaksa menurunkan kapasitas produksi hingga 50% sebab menaikan harga produk dianggap bukan solusi tepat disaat daya beli masyarakat masih rendah.
"Harga yang ideal untuk kedelai ini adalah Rp7.500 per kilogramnya. Kalau saat ini banyak pengusaha yang bingung mau menjual dengan harga berapa," tuturnya.