Bisnis.com, BANDUNG—Pemerintah Provinsi Jawa Barat memilih bersikap pragmatis terkait areal perkebunan teh di kawasan ini yang semakin menyusut akibat banyaknya petani teh yang mengalihfungsikan lahan mereka ke komoditas lain.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengemukakan berdasarkan data 1992, luas kebun teh di kawasan ini mencapai 120.000 hektare, namun saat ini jumlah lahan tersebut tinggal 98.000 hektare pada 2013.
Heryawan mengatakan penyusutan terjadi akibat petani banyak yang beralih ke jenis sayuran maupun menjadi peternak.
Dia mengaku pihaknya ingin mendorong perluasan kebun di kawasan ini. Akan tetapi, pihaknya ingin memprioritaskan komoditas yang memang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
"Kalau nilai ekonomi tertinggi saat ini ada di kopi dan karet, mungkin upaya perluasannya akan lebih dulu di kopi dan karet," katanya, Rabu (14/8/2013).
Menurutnya, alih fungsi kebun teh yang terjadi bukan persoalan krusial karena sepanjang alih fungsi masih digunakan untuk komoditas perkebunan lain yang secara ekonomi menguntungkan. "Kecuali alih fungsinya tidak berguna seperti jadi bangunan. Baru itu yang jadi persoalan," singkatnya.
Di tempat yang sama, Kabid Produksi Dinas Pertanian Jawa Barat Hendi Jatnika mengatakan secara nasional saat ini Indonesia turun ke peringkat tujuh sebagai negara penghasil teh. Padahal, katanya, dulu Indonesia berada di peringkat empat besar.
Dia mengatakan penurunan peringkat tersebut akibat berkurangnya lahan perkebunan teh yang berkontribusi 80% dari produksi teh nasional. "Alih fungsi lahan teh kebanyakan menjadi perkebunan rakyat. Mungkin melihat dari nilai ekonominya," kata Hendi.
Hendi menjamin tidak ada alih fungsi perkebunan teh menjadi bangunan komersial. Menurutnya, perkebunan tersebut beralih menjadi produk holtikultura."Dulu di dataran tinggi jabar didominasi teh, sekarang banyak sayuran dan buah yang ditanam," ujarnya.
Dia mengatakan meskipun dari sisi area berkurang namun yang menjadi persoalan penting saat ini adalah bagaimana peningkatan hasil produksi dan nilai tambah teh Jabar. Untuk mempertahankan produksi, katanya, salah satu caranya berupa merehabilitasi perkebunan teh tua yang rusak.
Hendi menuturkan perkebunan teh terbagi menjadi tiga kategori yakni kebun yang menghasilkan, belum menghasilkan, dan kategori tua rusak. "Untuk tanaman tua rusak, kami melakukan rehabilitasi sedikit demi sedikit karena kalau kebunnya bagus, produksi pun akan bagus meski areal menurun.”
Dia berharap rehabilitasi ini dapat diterapkan di perkebunan rakyat melalui dana APBD ataupun APBN. Menururnya, Kementerian Pertanian juga diharapkan dapat turut membantu proses rehabilitasi ini bersama-sama dengan Dewan Teh Indonesia dan Asosiasi Petani Teh Raya Jawa Barat.
"Kami masih memperjuangkan usulan ini bersama sejumlah stakeholder teh lainnya. Mudah-mudahan ke depannya bisa terlaksana," katanya.
MENYUSUT
Ketua Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapindo) Jabar Mulyadi Sukandar menilai perkebunan teh Indonesia terus mengalami penyusutan lahan bahkan secara sengaja dikonversi.
Dia mengatakan pengurangan lahan artinya sama dengan penurunan produktivitas teh. Padahal di sisi lain prospek bisnis teh semakin menggiurkan. Dia menilai adanya kontradiksi antara permintaan pasar yang tinggi dengan penyusutan lahan.
"Saya kira hal ini terjadi karena masalah manajemen produk teh yang tidak sebanding dengan input yang didapatkan," ujarnya.
Dia mengemukakan hingga saat ini perusahaan perkebunan sering terkendala akses modal untuk menjalankan usahanya. Perusahaan kerap dikenai kredit komersial bukan kredit produktif usaha.
Menurutnya, pemerintah seharusnya mau mempertahankan komoditas teh sebagai bagian dari identitas nasional.
Sebuah kenyataan miris ketika Vietnam mampu muncul sebagai eksportir teh lumayan besar saat ini. Padahal, negara tersebut sebelumnya belajar ke Indonesia.
Dia menilai penurunan kinerja ini merupakan kesalahan semua pihak terutama pemerintah sebagai pemegang regulasi.
"Prosek masih sangat bagus. Buktinya bisa dilihat dari pertumbuhan usaha produsen teh kemasan dan botol dan sejumlah perusahaan besar lainnya yang juga menjual produk minuman teh. Mereka untung besar," ujarnya.
Jabar memang dikenal sebagai produsen teh nomor satu di Indonesia baik kuantitas maupun kualitas. Akan tetapi, belakangan marak produk impor yang menekan harga produk dalam negeri . Hal ini, katanya, mengindikasikan ada yang beres dengan kebijakan tata niaga teh.
“Seharusnya nama teh Indonesia dijaga dengan baik di pasar dunia jangan malah dihancurkan.” Hedi (Ardhia, Wisnu Wage)