B isnis.com, JAKARTA – Pemerintah meyatakan tetap akan melarang ekspor raw material pada 2014 sebagai bentuk pengendalian produksi mineral dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Thamrin Sihite mengatakan pihaknya tidak mempermasalahkan pendapatan negara akan menurun akibat dari penghentian eskspor itu.
“Ini bukan hanya masalah pendapatan negara. Namun, kita juga harus memperhatikan lingkungan. Jangan sampai ada yang jor-joran mengambil,” ujarnya di Jakarta, Kamis (15/8).
Dia mengatakan saat ini pemerintah tengah menghitung jumlah nilai yang akan diperoleh negara jika mengehtikan ekspor tahun depan. Thamrin mencotohkan seperti komoditas nikel yang saat ini mengalami kelebihan cadangan. Pengendalian yang dimaksud adalah menjual lebih sedikit agar harga tetap tinggi.
Mengenai pendapatan negara yang turun, Thamrin menjelaskan pengendalian produksi bukan berarti mengurangi pendapatan negara. Pengendalian ekspor ini dimanfaatkan oleh pemerintah pusat karena wewenang bea cukai masih ada di pusat.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Dede Ida Suhendra mengatakan akan ada tim independen untuk melakukan kajian terkait dengan pengendalian ekspor dan hilirisasi. Tim tersebut digunakan pemerintah untuk melihat secara utuh. Yaitu pengaruh terhadap keekonomian perusahaan yang berinvestasi.
“Mengenai fleksibelitas ekspor tersebut harus dirumuskan oleh tim independen dulu. Kasihan jika yang sudah membangun [smelter] dan tidak ekspor kenyataannya harus mundur lagi,” ujarnya.
Dia menjelaskan jika pengusaha memenuhi Peraturan Menteri No.7/2012 mengenai aturan besaran kadar yang bisa diekspor, mereka tidak akan terkena bea keluar (BK). Selama ini, imbuh Dede, banyak pengusaha yang tidak memenuhi aturan tersebut sehingga mendapat disinsentif karena mengekspor dalam bentuk raw material.
Menanggapi larangan ekspor tersebut, Wakil Ketua Indonesia Mining Association Clayton Allen Wenas mengatakan, meski hal itu merupakan harga mati tetapi dia berpendapat agar pemerintah lebih realistis untuk melihat industri yang ada di Indonesia baik tambang maupun industri ekstraktif.
Dia mengatakan jika sebuah perusahaan hanya diperbolehkan menjual sesuai dengan kemampuan beli pasar Indonesia yang belum memiliki banyak pabrik pengolahan dan pemurnian, maka akan terdapat multiplayer efek yang besar.
“Bukan hanya masalah teknis tetapi non-teknis juga harus diperhatikan. Jika penghentian ekspor benar-benar dilakukan, maka pendapat daerah akan berkurang,” ujarnya.
Dia menjelaskan harus ada solusi yang pasti. Misalnya, PT Freeport Indonesia yang telah memasok sekitar 40% dari produksi mereka dalam 1 tahun ke PT Smelting di Gresik. Jika mereka harus menahan 60% dari total produksi, imbuh Tony, maka akan ada pengurangan operasional yang berimbas pada pegawai dan daerah. Selain itu, daerah tambang juga perlu diperhatikan.