Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Langsung Produk Kayu dari Papua Barat Didukung

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Kehutanan mendukung usulan Pemprov Papua Barat untuk membuka keran ekspor langsung produk kayu olahan dari provinsi ini ke luar negeri.

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Kehutanan mendukung usulan Pemprov Papua Barat untuk membuka keran ekspor langsung produk kayu olahan dari provinsi ini ke luar negeri.

Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kemenhut, menuturkan upaya penciptaan lapangan pekerjaan sektor kehutanan di Papua Barat harus terus didukung, termasuk dengan insentif membuka opsi ekspor langsung kayu olahan.

"Kita dukung, kalau untuk Papua mestinya bisa. Perlu insentif untuk create job bagi masyarakat Papua," kata Hadi di kantornya.

Namun, Hadi menegaskan usulan tersebut harus dikoordinasikan dan mendapat persetujuan dari jajaran Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian terlebih dahulu.

Adapun usulan ekspor kayu olahan langsung dari Papua Barat diajukan pemerintah daerah lantaran rendahnya realisasi tebangan kayu dari hutan alam di Tanah Cendrawasih itu. Dari kuota 1,2 juta m3, realisasi tebangan pada 2012 tercatat hanya sekitar 30%.

Hal itu a.l. disebabkan oleh rendahnya kapasitas unit industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) yang tercatat mencapai 332.000 m3 kayu olahan per tahun.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Hendrik Runawery mengatakan sebenarnya kapasitas terpasang IPHHK yang ada di Papua Barat sudah dapat menampung produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK-HA. Namun, pada kenyataannya tebangan kayu bulat tidak terserap optimal.

"Ternyata IUPHHK tidak bisa menjual kayu bulat kepada industri pengolahan di Papua Barat karena pemilik pabrik hanya mau membeli kayu bulat dengan harga yang lebih murah," ujarnya, Senin (12/8/2013).

Untuk itu, Pemprov Papua Barat memutuskan untuk membuka peredaran kayu bulat dari IUPHHK lokal ke industri lain di luar Papua Barat. Selain itu, Pemprov juga mendorong agar IUPHHK yang belum memiliki pabrik pengolahan segera merealisasikannya.

Sembari pembenahan infrastruktur dilakukan, lanjutnya, Pemprov Papua Barat juga mengusulkan kepada Menteri Perdagangan agar kayu olahan dari Papua Barat dapat diekspor langsung ke luar negeri dengan cara menetapkan kebijakan yang menaikkan standar luas penampang kayu olahan yang bisa diekspor.

"Kalau boleh ekspor langsung, permintaan naik, realisasi tebangan dan produktivitas pabrik bisa naik juga. Jadi industri bergerak memberikan nilai tambah bagi pengusaha dan ekonomi masyarakat," tuturnya.

David, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia bidang Hutan Alam, mengatakan sejak Peraturan Gubernur Papua Barat No.2/2008 diterbitkan, perkembangan industri kehutanan dan pengolahan kayu tidak berjalan dengan maksimal.

Padahal hasil hutan kayu di Papua dinilai sangat potensial untuk dijadikan bahan baku kayu olahan. Sayangnya, harga yang ditawarkan industri terlampau rendah dan kapasitas pabrik pengolahan masih relatif kecil.

"Yang terbaik menurut saya ekspor langsung sawn timber. Kalau bisa ekspor, realisasi tebangan bisa naik dua kali lipat jadi 60% dari kuota," kata David.

Selama ini, lanjutnya, hanya kayu Merbau yang menjanjikan keuntungan. Namun dengan usulan ekspor sawn timber, kayu meranti dan rimba campuran menjadi cukup menguntungkan. "Kalau sekarang harga lokal itu 40% dari harga ekspor, harga bisa naik kalau sawn timber diekspor," ujarnya.

Berdasarkan data APHI, total luas areal IUPHHK-HA di Papua Barat mencapai 3,36 juta ha dengan luas areal efektif 2,52 juta ha.

Dengan luas areal tersebut, potensi tegakan komersial 40 cm ke atas yang dapat ditebang dikalkulasi mencapai 2,75 m3/tahun. Proyeksi volume tebangan tersebut mencakup potensi tebangan kayu merbau 663.000 m3/tahun, meranti lain 605.000 m3/tahun, kayu rimba campuran 1,44 juta m3/tahun, dan kayu indah 44.000 m3/tahun.

Meski potensinya mencapai lebih dari 2,75 juta m3/tahun, kuota tebangan yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar 1,2 juta m3/tahun. Namun, realisasi produksi kayu sepanjang 2007-2011 tercatat hanya 1,80 juta m3 dengan rata-rata per tahunnya sebesar 60.132 m3 atau sekitar 27-30% dari kuota yang ditetapkan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper