Bisnis.com, PEKANBARU - Izin pengelolaan Hutan Desa diharapkan bisa menjadi solusi alternatif bagi masyarakat adat. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan penerbitan izin pengelolaan Hutan Desa lebih ringkas dibandingkan dengan pengakuan hutan adat melalui Peraturan Daerah.
"Proses pengurusan izin pengelolaan Hutan Desa bisa selesai dalam satu minggu kalau permohonannya sudah masuk ke saya," ujarnya, Senin petang (29/7/2013).
Zulkifli menambahkan pengajuan izin pengelolaan melalui pemerintah daerah membutuhkan waktu lebih lama. Pasalnya, pengelolaan hutan harus menunggu peraturan daerah yang harus dibahas antara Pemda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hingga saat ini, lanjutnya, Kemenhut telah menerbitkan beberapa izin pengelolaan hutan desa. Dua diantaranya dikeluarkan untuk Hutan Desa Segamai dan Hutan Desa Serapung yang berlokasi di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Areal kerja Hutan Desa Segamai dengan luas 2.270 hektare, dikukuhkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.154/Menhut-II/2013. Adapun areal kerja Hutan Desa Serapung dengan luas 1.956 hektare ditetapkan melalui SK menhut No.155/Menhut-II/2013.
Pengakuan atas pengelolaan hutan oleh masyarakat adat muncul selepas Makhkamah Konstitusi mengbulkan sebagian tuntutan masyarakat adat beberapa waktu lalu. Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa Hutan Adat bukanlah hutan negara.
Namun, peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa pengakuan Hutan Adat membutuhkan peraturan daerah. Zulkifli menyebut hal tersebut diatur dalam Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Fasilitator hutan desa Yayasan Mitra Insani (YMI) Herbek meminta pemerintah tidak menyamaratakan masyarakat adat dengan perusahaan dalam pengelolaan hutan. "Seharusnya masyarakat desa jangan disetarakan dengan perusahaan dalam pengelolaan hutan, sebab dalam banyak hal kemampuan masyarakat sangat terbatas," katanya.
Herbek menambahkan komitmen pemerintah untuk mendukung pengelolaan hutan desa harus diwujudkan dalam peringkasan proses perizinan. Meski telah memperoleh izin pengelolaan hutan desa, namun masyarakat adat masih harus mengurus beberapa persyaratan.
Dalam kesempatan yang sama, Menhut meminta masyarakat merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk mencegah kesimpangsiuran informasi terkait kebakaran hutan. Menurutnya, data yang diberikan BNPB merupakan data yang paling akurat.
"Data BNPB didapat dari Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi (BMKG) itulah yang paling akurat untuk lokasi kebakaran yang terjadi," ujarnya.
Zulkifli tidak menafikkan jika terdapat data lain soal kebakaran hutan seperti hasil pantauan satelit NOAA. Menurutnya, hasil pantauan satelit belum tentu presisi. Meski demikian, lanjutnya, hasil pantauan NOAA digunakan pemerintah sebagai acuan pencegahan kebakaran hutan.
"Padahal belum tentu ada kebakaran di sana. Tapi indikasi saja sehingga perlu diturunkan tim pemantau ke lapangan," ungkapnya. (Aang Ananda/k18)