Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia mengusulkan agar revisi aturan daftar negatif investasi lebih terbuka pada penanaman modal asing di bidang usaha kesehatan dan pendidikan.
Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi mengatakan aturan yang lebih permisif itu diperlukan mengingat kebutuhan akan jasa kesehatan dan pendidikan di dalam negeri yang semakin meningkat.
“Daripada orang berobat ke Singapura, lebih baik diberi kesempatan dan dipermudah. Begitu juga dengan pendidikan yang kita perlukan, perlu kerja sama dengan universitas-universitas yang bagus di luar negeri,” katanya seusai rapat dengan Kementerian Koordinator Perekonomian, Jumat (19/7/2013).
Seperti diketahui, Perpres No 36/2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal tengah direvisi.
Beleid itu selama ini melarang asing menanamkan modal di beberapa bidang usaha kesehatan, seperti rumah sakit/klinik umum, tenaga kesehatan, pengolahan obat tradisional dan apotek. Artinya, kepemilikan bidang usaha itu harus 100% modal dalam negeri.
Sejumlah bidang usaha memang dibuka untuk investasi asing, tetapi dengan kepemilikan saham terbatas, misalnya maksimal 75% pada industri farmasi dan maksimal 67% pada pelayanan rumah sakit spesialistik/subspesialistik (200 tempat tidur).
Regulasi juga membatasi kepemilikan asing maksimal 49% pada jasa pendidikan nonformal, seperti jasa pendidikan komputer dan bahasa swasta. Adapun investasi asing di bidang jasa pendidikan anak usia dini harus dengan perizinan khusus, dalam hal ini UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kendati meminta lebih dibuka bagi investasi asing, Sofjan menekankan investor asing tetap perlu bermitra dengan investor lokal. Soal porsi kepemilikan, menurutnya hal itu sebaiknya diserahkan kepada kesepakatan bisnis.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengusulkan agar industri minuman mengandung alkohol, seperti minuman keras, anggur dan minuman mengandung malt, terbuka bagi investasi.
“Tidak masalah kalau lokasinya di kawasan Indonesia timur,” ujarnya.
Perpres No 36/2010 selama ini menyatakan industri itu sama sekali tertutup bagi penanaman modal.
Padahal, kata Hidayat, permintaan domestik ada sehingga investasi industri minuman beralkohol justru akan mengurangi ketergantungan pada impor. Bahkan, jika mampu berproduksi dalam kapasitas besar, Indonesia dapat mengekspor minuman beralkohol.
Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa enggan berkomentar atas usulan tersebut. Menurutnya, pembahasan draf revisi aturan DNI sedang dilakukan oleh pejabat eselon I Kemenko Perekonomian dan seluruh kementerian teknis.
“Kalau drafnya sudah dilaporkan ke saya, saya akan kasih komentar,” ujarnya.