Bisnis.com, JAKARTA—Ada dana miliaran rupiah berputar di bisnis asuransi perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia. Sejak program asuransi itu berjalan pada 2006 hingga 2009 dengan jumlah orang yang bekerja di luar negeri sekitar 1,9 juta orang membayar premi Rp400.000 per orang.
Apabila dihitung, ada pembayaran polis asuransi TKI dalam jangka waktu tersebut mencapai sekitar Rp760 miliar, belum lagi bagi TKI yang berangkat bekerja ke berbagai negara mulai dari 2010 sampai dengan Juni 2013.
Angka tersebut adalah hitungan sederhana dari sebuah premi asuransi yang wajib dibayarkan oleh setiap TKI yang akan bekerja di luar negeri melalui perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) kepada konsorsium asuransi.
Namun, jumlah premi yang besar itu tidak seimbang dengan pelayanan klaim asuransinya, karena di saat TKI akan mengajukan klaim, ada saja alasan yang dikemukakan oleh Konsorsium Asuransi, seperti isi hasil rekomendasi Panitia Kerja Konsorsium Asuransi TKI Komisi IX DPR pada April 2013.
Dalam rekomendasi itu dijelaskan faktanya Konsorsium Asuransi dengan berbagai alasan tidak menjalankan kewajiban membayar klaim asuransi, di antaranya dokumen dari TKI tidak lengkap.
Selain itu, alasan lainnya adalah tidak adanya ketentuan didalam peraturan perundangan dan dalam polis asuransi yang disepakati, sehingga Konsorsium Asuransi dengan alasan itu hanya membayarkan klaim sesuai dengan kehendak sepihak konsorsium.
“Pelanggaran yang sangat jelas ini dilakukan dan dibiarkan oleh negara dengan membiarkan Konsorsium Asuransi yang tidak membayarkan klaim asuransi seperti ketentuan yang berlaku,” tulis hasil rekomendasi DPR itu.
Padahal, lanjut data tersebut, pemerintah melakukan pungutan premi asuransi kepada setiap TKI sebesar Rp400.000 yang disetorkan kepada perusahaan Konsorsium Asuransi TKI oleh PPTKIS.
Migrant Care juga meminta adanya audit secara keseluruhan pada operasional konsorsium asuransi dan keterlibatan pemerintah atau kementerian terkait dalam legitimasi praktik tersebut.
“Mekanisme pembentuka konsorsium asuransi juga harus diselidiki, karena kami menduga tidak adil, apalagi data klaim asuransi simpang siur,” ujar Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo, Selasa (16/7).
Pada Juni 2012, Kemenakertrans menerima laporan ada sekitar 5.693 klaim asuransi bagi perlindungan TKI yang ditolak oleh perusahaan asuransi/Konsorsium Asuransi, karena dinilai bermasalah.
Direktur Jenderal Pembina Penempatan Tenaga Kerja Kemenakertrans Reyna Usman menyatakan saat itu ada sebanyak 4.626 kasus masuk kategori TKI bekerja tiga sampai enam bulan, sehingga klaim asuransi mereka ditolak.
Selain itu, penolakan klaim asuransi juga terjadi karena TKI tidak terampil, tidak layak, dan sebagian merupakan peserta sembilan konsorsium asuransi lama atau TKI nonprosedural, sedangkan sisanya 1.067 klaim asuransi dalam tahap klarifikasi pemrosesan.
Jumlah klaim asuransi yang ditolah itu setiap tahun selalu ada, dengan alasan yang hampir sama, yakni karena masalah administrasi yang tidak lengkap dan tidak sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Konsorsium Asuransi Proteksi TKI menyampaikan laporan hingga Juni 2012, jumlah klaim asuransi yang masuk 24.539 kasus, dan dari jumlah itu ada 11.210 kasus ditolak, sedangkan masih dalam proses ada 160 kasus.
Angka tersebut berbeda dengan laporan Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kemenakertrans yang menyebutkan pada periode 2010 – 2012, jumlah kasus klaim yang masuk 24.539 peserta.
Jumlah klaim yang dibayarkan 13.169 klaim, yang masih dalam proses ada 160 klaim dan jumlah kasus yang di tolak 11.210 klaim.
Sementara itu, laporan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada Periode Oktober 2010-Februari 2012 menyebutkan jumlah peserta asuransi TKI mencapai 1.028.243 peserta dengan nilai premi Rp. 254.645.490.000.
Dari data tersebut, TKI yang mengajukan klaim 18.895 peserta, dengan rincian dari klaim yang diajukan ada 9.701 peserta atau 51,34% telah diselesaikan, sisanya 47,44% ditolak dan 1,22% masih pending.
Perbedaan data itu secara nyata menunjukkan tidak adanya koordinasi yang intensif antara Konsorsium Asuransi Proteksi TKI dengan pemerintah, dalam hal ini Kemenakertrans dan juga BNP2TKI.
Pengusutan tuntas atas praktik asuransi perlindungan bagi TKI harus dilakukan lembaga yang berwenang, karena proses penempatan dan perlindungan tersebut terus berjalan seiring dengan pengiriman ribuan orang pekerja setiap tahunnya ke luar negeri. (habis)