BISNIS.COM, JAKARTA—Pemerintah diminta segera menyelesaikan peraturan rasio utang terhadap kepemilikan dana [debt to equity ratio/DER] sebagai bentuk optimalisasi penerimaan pajak di tengah risiko penurunan penerimaan negara.
“Hampir semua negara membatasi DER. Kalau Indonesia tidak, sama saja jadi tax heaven,” ujar Pengamat Pajak Tax Center Universitas Indonesia Danny Septriadi kepada Bisnis, Selasa (7/5/2013).
Danny menilai langkah ekstensifikasi yang dilakukan oleh Ditjen Pajak sudah cukup maksimal. Dia mengkhawatirkan di tengah perlambatan ekonomi yang dialami Indonesia, upaya pemerintah untuk memaksakan pencapaian target pajak akan terlalu berat bagi para wajib pajak (WP).
Oleh karena itu, dia juga menyarankan pemerintah merevisi target pajak yang dipatok Rp1.042,3 triliun dalam APBN 2013, selain optimalisasi melalui kebijakan anti penghindaran pajak.
Saat ini, Kementerian Keuangan masih merancang kategori DER. Kategori yang termasuk ke dalam DER adalah kategori sektor keuangan (bank dan finansial) dan sektor non keuangan. Namun, Kemenkeu masih mengkaji apakah masih akan melakukan pembagian kategori lagi untuk sektor non keuangan.
Aturan mengenai DER sebenarnya pernah diberlakukan pada 1984 melalui Keputusan Menteri Keuangan No.1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Namun, pada 1985 aturan ini ditunda pemberlakuannya.
Kajian mengenai DER diangkat kembali oleh pemerintah karena peningkatan utang swasta yang tinggi, khususnya utang luar negeri, mulai mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri swasta pada akhir 2010 tercatat sebesar US$83,78 miliar. Kemudian pada 2011 dan 2012, jumlahnya meningkat lebih dari 20% per tahun menjadi US$106,73 miliar dan US$125,08 miliar. (mfm)