Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Bisnis Unggas dan kompleksitasnya

BISNIS.COM, JAKARTA -- Bisnis unggas, pada 2013 akan semakin menarik karena perunggasan mampu menjaga perannya sebagai industri penyangga dan substitusi daging sapi, yang saat ini sedang bermasalah.

BISNIS.COM, JAKARTA -- Bisnis unggas, pada 2013 akan semakin menarik karena perunggasan mampu menjaga perannya sebagai industri penyangga dan substitusi daging sapi, yang saat ini sedang bermasalah.

Namun, dibalik prospeknya yang besar, ternyata menyisakan beberapa masalah dasar yang perlu segera ditemukan solusinya.`

Masalah tersebut meliputi masih tingginya resiko penyakit pada unggas, pasar DOC (bibit) yang sulit terkontrol, kinerja produksi jagung yang masih fluktuatif yang menyebabkan ketergantungan impor dari negara lain hingga harga jual daging yang belum stabil.

Semua masalah tersebut menyeruak secara bersamaan ketika Persatuan Pengusaha Unggas Nasional (PPUN) mengadakan Kongres PPUN ke IV di Kota Bogor. Kongres yang digabung dengan Sarasehan Nasional Peternak Ayam Broiler ini dihadiri semua elemen yang memiliki kepentingan di sektor unggas.

Mulai dari Dirjen peternakan dan Kesehatan Hewan, Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Asosiasi Peternak Unggas se-Indonesia (PINSAR), para peternak hingga perwakilan dari perusahaan yang fokus di industri ini.

Hartono, Ketua Umum PINSAR Nasional merasa senang dan mengharapkan agar acara ini akan menghasilkan kesepahaman visi antar semua elemen yang memiliki kepentingan untuk bersama-sama membangun industri ini.

“ini adalah saat yang sangat tepat, dimana semua elemen hadir dalam ruangan ini. Momen ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya untu duduk bersama, menemukan solusi dari setiap masalah yang selama ini dihadapi di sektor perunggasan,” jelasnya ketika mengawali sesi diskusi.

Hartono mengatakan berbagai masalah yang selama ini dihadapi harus segera ditemukan solusinya. seperti masalah disparitas harga antara satu daerah dengan daerah lainnya dan juga fluktuatifnya harga produk unggas dianggap mengganggu keberlanjutan industri ini.

“Harga dipasaran tidak stabil, misalnya ketika mendekati lebaran, harga jual memang mengalami peningkatan. Namun, disisi lain harga pakan, vaksin,vitamin juga ikut naik. Jadi peternak tidak bisa menikmati harga pasar yang baik ini, keadaan sebaliknya, setelah lebaran harga produk mengalami penurunan hampir tidak terkendalai.

Akibatnya, peternak mengalami kerugian yang lumayan besar,” jelas Ketum PINSAR ini.

Lebih lanjut, Hartono mengatakan saat ini harga ayam per kg dibeberapa daerah mempu menembus Rp.15.000 per kg, meskipun demikian, Peternak belum mendapatkan keuntungan yang berarti.

Sementara itu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Syukur Iwantoro mengatakan, pihaknya mengapresiasi dan menghargai kepedulian semua instansi hingga terbentuknya forum sarasehan ini. Menurutnya ada beberapa hal yang saat ini menjadi intens pemerintah.

Hal lain yang mendesak adalah rencana pemerintah Amerika Serikat yang mempermasalahkan kebijakan Indonesia terhadapa industri peternakannya. Amerika menganggap Indonesia tidak fair dalam perdagangan terutama produk unggas.

“pemerintah akan melakukan perbaikan baik teknis, infrastruktur maupun soal kebijakan-kebijakannya,” jelas Dirjen Kementan ini.

Untuk itu, lanjut Syukur, pemerintah akan melakukan perbaikan dan pengembangan pasar, terutama penataan pasar unggas yang selama ini disinyalir masih rawan terhadap serangan flu burung.

“kita akan menertibkan pasar unggas hidup, soalnya disitu rawan terhadap penyebaran flu burung. Karena kontrolnya memang susah,” tegas Syukur.

Selain itu pemerintah juga akan melakukan perbaikan terhadap rumah potong unggas yang selama ini semakin marak di daerah-daerah. Pemerintah juga mengharapkan adanya kerjasama antara Asosiasi kemudian rumah potong unggas dan juga sentra produksi. Sehingga semua pihak akan sama-sama diuntungkan.

Adanya disparitas harga antara wilayah timur dengan wilayah selatan juga menjadi pekerjaan pemerintah. Menurutnya, disparitas itu terjadi karena sampai saat ini beberapa bahan baku pakan masih diimpor dari negara lain dan barang impor tersebut masih terkonsentrasi di Jakarta.

Sementara itu, Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economic and Finance), Bustanul Arifin menyarankan Pemerintah lebih baik menyatukan Litbang-litbang yang ada, kemudian dari situ bisa di spesialisasi sesuai keahliannya.

“sebaiknya litbang-litbang yang ada di satukan, nah dari situ kemudian di spesialisasi, agar kerjanya lebih optimal,” jelas Profesor dari Universitas Lampung ini.

Bustanul cukup beralasan karena menurut dia, selama ini para peneliti masih bertanya-tanya, kemanakah arah penelitiannya ini akan berujung.

Selain itu, pemerintah harus bisa memfasilitasi para pelaku industri dengan informasi yang lengkap dan benar. Hal ini untuk menghindari praktek perdagangan yang tidak sehat.

Berikutnya, menurut Bustanul idealnya setiap peternak memiliki sedikitnya 10.000 ekor unggas, hal ini demi menjaga cashflow perusahaan. Lanjut dia, kurang etis jika peternak skala kecil harus berhadapan dengan peternak besar.

Khusus mengenai WTO, Bustanul belum bisa memastikan hasil dari Panel WTO yang akan berlangsung pada 24 April 2013, namun seandainya pemerintah Indonesia tidak mampu mempertahankan kebijakannya, maka konsekuensinya adalah masuknya produk-produk hasil unggas dari negara lain, semisal Amerika ke pasar Indonesia.

Oleh karena itu para pelaku usaha di sektor ini harus sudah memiliki persiapan jika suatu saat hal itu terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper