BISNIS.COM, JAKARTA--Hingga kini tumpang tindih kewenangan pemerintah daerah dan kementerian di sektor perikanan dan kelautan masih terus berlanjut.
Asosiasi Rumput Laut Indonesia mengeluhkan hal tersebut terutama dalam hal mengurus perizinan dan dokumen pendirian industri pengolahan.
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis mengungkapkan setiap perusahaan membutuhkan sekurang-kurangnya 13 dokumen, belum termasuk lampiran dan persyaratan kelengkapan lainnya. Banyaknya dokumen serta birokrasi yang dibutuhkan pada akhirnya berimbas pada lamanya waktu pengurusan izin.
"Tidak adanya koordinasi antar instansi dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Pembagian kewenanganpun bahkan sering tumpang tindih pada lintas kementerian. Tidak hanya untuk mendirikan industri pengolahan, untuk pemasaran baik domestik maupun ekspor juga mengalami hal yang sama," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Bisnis (13/3/2013)
Sebab itu, lanjutnya, selain membutuhkan cetak biru, pelaku industri rumput laut juga perlu segera mendapatkan pedoman regulasi.
Safari juga berharap pemerintah dan legislatif bisa mengevaluasi program atau proyek pembangunan industri rumput laut yang dianggarkan ke daerah. Industri yang perlu dievaluasi adalah industri yang tidak memiliki studi kelayakan, teknologi tepat guna dan tanpa memiliki jaminan pasar serta standar hasil olahannya.
Agar dapat melakukan hal tersebut dia menilai pemerintah harus menyusun program yang terintegrasi dan sinergis. Adapun sejak 2011, Industri rumput laut secara simultan ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).(msb)