JAKARTA—Pemerintah mengakui selama ini tidak ada sanksi pidana dalam pelanggaran penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, terutama dalam UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.
Untuk itu, Menakertans Muhaimin Iskandar menyatakan diperlukan ketentuan pasal yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelaku usaha dan pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam penempatan dan perlindungan TKI.
“Sistem perlindungan juga harus lebih komprehensif dengan diberi sejumlah sanksi bagi pelanggar terhadap prinsip-prinsip perlindungan TKI,” ujarnya, Selasa (26/2).
Selain itu, Muhaimin menambahkan ada adopsi dari ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan keluarganya, sehingga TKI tidak hanya terlindungan saat bekerja, tapi juga sebelum dan sesudah di tanah Air untuk kembali ke kampung halaman.
Permasalahan lain yang memerlukan perhatian dalam revisi UU No.39/2004 itu adalah mengenai berbedaan antara TKI PLRT (penata laksana rumah tangga), TKI mandiri (berangkat secara individu), TKI professional (pekerja formal).
“Yang paling penting adalah mengenai pengaturan secara jelas dan rinci peran BNP2TKI [badan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia], sehingga tidak multitafsir lagi dalam peranannya,” tutur Muhaimin.
Selama ini, lanjutnya, ada multitafsir dengan peran dan tugas BNP2TKI, terutama di tingkat daerah, dengan dinas ketenagakerjaan terkait.