Berkaca dari KUD, Core Indonesia berharap, pemilihan SDM KopDes Merah Putih harus dikelola oleh pihak yang kompeten dalam pengembangan bisnis, bukan hanya sekadar kepala desa yang menjadi pengawas atau pengurus KopDes Merah Putih.
“SDM ini menentukan keberhasilan KopDes Merah Putih karena mereka yang akan merancang business plan dan pengembangan koperasi,” terangnya.
Menurutnya, pembelajaran dari masa lalu menjadi sangat relevan untuk memastikan program ini tidak mengulangi kesalahan yang sama.
“KopDes ini jangan hanya sekadar sebagai penyedia kebutuhan pokok dan penyedia layanan jasa keuangan saja tetapi lebih dari itu, harus bisa mengembangkan produk baru berbasis potensi lokal yang bisa mendorong reindustrialisasi di daerah,” tuturnya.
Risiko Gagal Bayar
Di samping itu, Eliza menyebut KopDes Merah Putih layak jadi proyek strategis nasional jika dalam pelaksanannya menuju ke arah reindustrialisasi nasional, agar sejalan dengan target pemerintah yang ingin meningkatkan pangsa manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB).
Dari sisi pendanaan, menurutnya, sebelum penggunaan dana desa, idealnya suatu koperasi menggunakan dana swadaya masyarakat.
Baca Juga
“Apalagi jika koperasinya baru dibentuk, ini jangan dulu diguyur pemodalan besar dari pihak luar, apalagi jika menjaminkan dana desa,”
Pasalnya, jelas dia, koperasi yang baru berdiri masih membutuhkan proses pembelajaran dan penyempurnaan sistem. Artinya, untuk di tahap awal, koperasi menggunakan dana swadaya dan setelahnya bisa menggunakan dana pihak ketiga, jika sudah berkembang.
Dia mewanti-wanti kucuran dana dari perbankan menambah beban utang baru. Sebab, jika pengelola KopDes gagal mengembangkan bisnisnya, maka potensi gagal bayarnya tinggi dan berdampak pada perbankan.
“Jika dana desa dijadikan jaminannya, ini dampaknya ke belanja desa harus ada yang direalokasikan sehingga belanjanya tidak optimal,” terangnya.
Hal itu mengingat mayoritas KopDes yang akan dibentuk adalah institusi baru dengan kapasitas bisnis yang belum teruji dan memiliki potensi kredit macet yang sangat tinggi.
“Maka sistem kredit harus disertai risk assessment komprehensif, program pendampingan intensif, dan sistem early warning untuk mendeteksi potensi masalah sejak dini,” tuturnya.
Pengawasan
Eliza menambahkan, juga perlunya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah fraud dan penyalahgunaan dana. “Selama ini lemahnya sistem tata kelola di tingkat desa yang tercermin dari tingginya kasus korupsi di level desa,” imbuhnya.
Selain itu, sambung dia, hilirisasi semestinya bisa menjadi fokus KopDes, terutama pada produk pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang selama ini belum menjadi prioritas pemerintah.
Di samping itu, penting menjaga marwah koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang lahir dari kesadaran kolektif untuk saling menolong dan membangun kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, pemerintah menjadi fasilitator dan katalisator untuk mengajak masyarakat gotong royong dalam pembangunan ekonomi.
Sejumlah catatan terkait dengan Kopdes Merah Putih juga sebelumnya disampaikan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyebut, hal pertama yang perlu menjadi catatan ialah adalah dari sisi bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Ajib menjelaskan bahwa sektor perbankan adalah industri keuangan dengan regulasi yang tinggi (high regulated). Pasalnya, lanjut dia, seluruh aktivitas di sektor perbankan akan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Dia mengkhawatirkan syarat formal kredit berupa character, capacity, capital, collateral dan condition (5C) akan sulit dipenuhi oleh Kopdes Merah Putih.
“Kalau program ini dibuat mandatory, bank Himbara akan kesulitan secara teknis perbankan,” ujar Ajib dalam keterangan tertulis, Senin (19/5/2025).
Bahkan, Ajib menyebut, bank Himbara juga akan kesulitan dalam menyalurkan program kredit usaha rakyat (KUR) melalui Kopdes Merah Putih.
“Cenderung akan terhambat kondisi para debitur di masyarakat yang sedang marak terbelit masalah pinjaman online [pinjol] dan lain-lain, yang membuat SLIK OJK juga menjadi kendala. Pemerintah harus membuat peraturan terobosan untuk mengatasi hal ini,” tuturnya.
Transparansi
Potensi masalah yang kedua adalah dalam konteks keuangan negara. Dia menyebut, ketika opsi pembiayaan Kopdes Merah Putih diambil dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), baik berasal dari dana desa maupun lainnya, maka koperasi akan berpotensi menjadi objek pemeriksaan dan audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Untuk itu, Ajib menuturkan bahwa keuangan negara harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan efektif.
Adapun, potensi masalah ketiga adalah para pengelola koperasi. Ajib mewanti-wanti dengan sumber daya yang ada dan literasi keuangan yang cenderung masih rendah, Kopdes Merah Putih akan menghadapi masalah yang cukup serius jika tidak bisa mengelola sesuai prinsip-prinsip dan standar pengelolaan keuangan negara.
Dia menuturkan bahwa indikasi tentang pengelolaan yang belum profesional tercermin dari International Cooperative Alliance (ICA) pada 2023 yang menunjukkan tidak ada satu pun koperasi Indonesia masuk jajaran 300 koperasi dunia.
Padahal, sambung dia, Indonesia adalah negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia, yakni mencapai lebih dari 130.000 koperasi. Ajib menyebut, sederet potensi masalah ini perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah.
“Pemerintah cukup mengoptimalkan koperasi yang sudah ada, termasuk misalnya koperasi unit desa [KUD], dengan meningkatkan kualitas SDM, membuat sistem serta digitalisasi,” imbuhnya.