Bisnis.com, KUALA LUMPUR — Produsen alat kesehatan di Indonesia mengkhawatirkan bea masuk 0% untuk barang-barang Amerika Serikat (AS) akan memukul daya saing alat kesehatan produksi dalam negeri.
Ketua Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia Raden Kartono Dwidjosewojo mengatakan, saat impor alat-alat kesehatan dari AS akan dikenai tarif 0%, produsen alat kesehatan dalam negeri harus menanggung bea masuk bahan baku 0%-25%.
“Sudah pasti, harga alat kedokteran dari Amerika akan lebih murah. Sementara, kami mengimpor bahan baku, ada bea masuknya. Bagaimana mungkin kami bisa kompetitif?” kata Kartono di sela-sela International Healthcare Week (IHW) 2025 di Kuala Lumpur, Kamis (17/7/2025).
Sekitar 60%-75% kebutuhan bahan baku alat kesehatan buatan Indonesia masih bergantung pada impor. Pabrikan mengimpor sebagian besar bahan-bahan seperti modul, PCB, casing plastik, dan baut dari China.
Produsen lokal selama ini sudah memproduksi alat-alat kesehatan seperti monitor pasien, tempat tidur, alat pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan tensimeter.
Sementara, alat-alat yang lebih canggih seperti pencitraan resonansi magnetik (MRI) dan CT scan masih diimpor dari negara-negara seperti Jerman, AS, China, dan India, kendati ada produsen lokal yang mulai memproduksi.
Baca Juga
Ancaman dari produk alat kesehatan AS yang lebih murah menuntut produsen alat kesehatan domestik harus beroperasi lebih efisien. Kartono mengatakan produsen membutuhkan keringanan bea masuk bahan baku, kejelasan peta jalan (roadmap) pengadaan alat kesehatan pemerintah, dan bantuan promosi.
Kartono mengatakan roadmap alat kesehatan selama ini tidak jelas. Dia memberi contoh pengadaan alat tes antropometri yang baru berjalan selama dua tahun, dihentikan tiba-tiba tanpa kejelasan.
“Kami butuh kejelasan apa yang mau diadakan dan berapa lama, agar kami bisa siapkan produksi karena proses produksi butuh waktu,” ungkapnya.
Produsen juga membutuhkan bantuan promosi dari pemerintah untuk keberlanjutan ekspor, termasuk dukungan booth ketika mengikuti pameran di luar negeri.
Menurut Kartono, perusahaan-perusahaan alat kesehatan luar negeri kerap menerima bantuan seperti ini dari pemerintah negaranya.
Sekjen Gakeslab Faroman Avisena menambahkan, ketidakjelasan rencana pengadaan alat kesehatan jangka panjang pemerintah dari pinjaman bank-bank pembangunan multilateral sekitar Rp60 triliun juga membuat perusahaan-perusahaan lokal bertanya-tanya tentang kapan harus memulai persiapan.
Menurut Faroman, pengadaan akan dilakukan melalui tender internasional, yang artinya perusahaan-perusahaan lokal harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan global.
“Kami sudah berinvestasi, beli lahan, beli mesin, ikuti aturan TKDN, dan sertifikasi, tapi belum tahu harus produksi apa karena tidak ada informasi dari pemerintah,” ujarnya.