Adapun, tarif resiprokal 32% untuk Indonesia lebih rendah dari yang dikenai Trump atas Myanmar (40%), Laos (40%), Kamboja (36%), dan Thailand (36%). Hanya saja, tarif Indonesia itu lebih tinggi dari Malaysia (25%), Brunei Darussalam (25%), Vietnam (20%), Filipina (20%), dan Singapura (10%).
Sejauh ini, kata Haryo, Indonesia telah menyampaikan tawaran-tawaran terbaik kepada AS, termasuk dalam bentuk second best offer yang disebut pemerintah AS sebagai tawaran yang sangat baik. Meski begitu, keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan Presiden Trump.
“Jadi kemudian ini belum berakhir, saya melihat keputusan ini masih menunggu respons dari setiap negara apa yang akan ditawarkan kembali. Jadi kata 32% itu belum final, kita masih akan terus respons dan berunding kembali dan menawarkan nilai-nilai lebih untuk jadi pertimbangan Amerika Serikat,” ungkapnya.
Haryo menambahkan, selain tarif, negosiasi juga mencakup aspek hambatan non-tarif. Menurutnya, Indonesia selama ini juga terus mendorong perbaikan regulasi untuk mempermudah investasi, baik untuk AS maupun negara lain.
Dia mencontohkan bahwa tim negosiasi sudah menyampaikan berbagai upaya perbaikan hambatan non-tarif yang dilakukan seperti penerapan OSS (Online Single Submission) atau Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Baca Juga
Meski demikian, dia menegaskan bahwa pembahasan utama saat ini tetap pada tarif, terutama terkait volume perdagangan dan komoditas prioritas.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sendiri sedang berada di AS untuk melanjutkan negosiasi tarif. Airlangga dijadwalkan akan bertemu dengan perwakilan USTR (Kantor Perwakilan Dagang AS), Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, dan Menteri Keuangan AS Scott Bessent.