Bisnis.com, JAKARTA — Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai paket dagang yang ditawarkan Vietnam kepada AS jauh lebih menggiurkan dibandingkan dengan Indonesia, sehingga dinilai wajar apabila Negeri Paman Sam lebih memprioritaskan Vietnam dalam negosiasi tarif.
Dandy Rafitrandi, peneliti pada Department of Economics CSIS menyebut posisi perdagangan Vietnam dan Indonesia terhadap AS sangat berbeda, baik dari sisi skala maupun dampak ekonominya.
"Kalau AS mau menurunkan defisit neraca perdagangannya, deal dengan Vietnam ini sudah cukup besar dampaknya. Defisit AS dengan Vietnam jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia," ujarnya dalam media briefing di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).
Dia mencontohkan, simulasi CSIS menunjukkan bahwa jika Vietnam menurunkan tarif impor menjadi 0% atas produk AS maka ekspor Negeri Paman Sam bisa naik hingga US$3 miliar per tahun. Angka tersebut bisa berulang setiap tahun sehingga potensi manfaatnya bagi AS bisa terus bertambah seiring waktu.
Selain itu, deal antara Vietnam-AS beberapa waktu lalu juga menyepakati tarif sebesar 20% atas barang Vietnam yang masuk AS. Dandy mengungkapkan, kesepakatan itu bisa membuat penerimaan AS bertambah US$30 miliar per tahun.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia hanya menawarkan paket impor dan investasi sebesar US$34 miliar ke AS. Meski lebih besar dari tawaran Vietnam ke AS, namun Dandy mengingatkan bahwa paket yang ditawarkan Indonesia tidak berkelanjutan (one-off) seperti yang ditawarkan Vietnam.
Baca Juga
"Jadi kalau tadi dibilang bahwa Indonesia mempunyai paket sebesar US$34 miliar dolar yang kita offer [tawarkan], berarti agak tidak apple to apple [setara] karena Vietnam itu menawarkan US$30 miliar ini per tahun," paparnya.
Lebih jauh, Dandy menyoroti pentingnya koordinasi antara negara-negara Asean untuk menghadapi tekanan tarif dari AS. Menurutnya, Indonesia perlu menghindari kebijakan yang bersifat scattered atau tidak terkoordinasi, agar tidak saling menjatuhkan di kawasan.
Dandy menyarankan, solusi terbaik bagi Asean adalah menyusun respons yang terkoordinasi, dengan tetap mengedepankan prinsip non-discriminatory dan most favored nation (MFN) dalam sistem perdagangan multilateral.
Meski demikian, dia mengakui, langkah ini membutuhkan kemauan politik yang kuat dari seluruh negara Asean, yang hingga saat ini masih menjadi tantangan tersendiri.
"Dibandingkan nanti Vietnam sudah deal sendiri, Thailand kalau tidak salah juga akan buka 0%. Ini jadi makan teman sendiri. Itu yang kita ingin hindarkan dari negosiasi Trump ini," ungkapnya.
RI Ingin Punya Tarif Terendah
Pemerintah menargetkan agar tarif impor yang dikenakan AS terhadap produk asal Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asean lain.
Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto menyampaikan bahwa pemerintah masih berupaya keras melobi AS untuk menurunkan tarif resiprokal 32% yang sebelumnya diumumkan Presiden AS Donald Trump.
Dia menegaskan bahwa angka 32% tersebut belum final karena masih ada ruang negosiasi yang terbuka, setidaknya sebelum berlaku pada 1 Agustus 2025 seperti yang diumumkan Trump.
“Targetnya kita [setara dengan yang] rendah di Asean atau mungkin lebih rendah,” ujar Haryo dalam keterangan pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025).