Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

China Perpanjang BMAD Baja RI 20%, Produksi Smelter Nikel Terancam

Perpanjangan BMAD produk baja nirkarat asal Indonesia oleh China dinilai dapat menekan industri smelter nikel dalam negeri.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA  Penerapan perpanjangan bea masuk antidumping (BMAD) billet baja nirkarat dan HRC nirkarat, yang merupakan salah satu bentuk stainless steel, oleh China dapat mengancam produksi nickel pig iron (NPI) dari smelter di Indonesia.

Untuk diketahui, China menerapkan perpanjangan BMAD atas dua produk tersebut yang berasal dari Indonesia dengan tarif 20,2% dan mulai berlaku pada 1 Juli 2025. 

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono mengatakan, kebijakan tersebut dapat berdampak besar terhadap daya saing industri pengolahan nikel dalam negeri.

“Pengenaan bea masuk produk stainless steel ini, berpotensi akan mengurangi daya saing produk Indonesia dikarenakan margin keuntungan yang berkurang,” kata Sudirman kepada Bisnis, Kamis (10/7/2025).

Menurut Sudirman, bea masuk ini merupakan tantangan serius bagi industri stainless steel nasional. Sebab, hal ini terjadi di tengah kenaikan biaya produksi dan penurunan harga nikel global akibat lemahnya permintaan serta kondisi geopolitik dunia yang tidak menentu.

Sementara itu, stainless steel merupakan produk turunan dari NPI yang merupakan produk hasil pabrik rotary kiln electric furnace (RKEF). Saat ini, smelter tersebut banyak beroperasi di Kawasan Industri IMIP, IWIP, serta beberapa kawasan industri lainnya.

“Efek lanjutan, jika pabrik SS [stainless steel] dan RKEF mengalami tekanan biaya dan beban produksi yang tinggi, bisa jadi akan menyebabkan penurunan produksi yang berpotensi menekan volume ekspor, serta perolehan devisa dari ekspor,” terangnya. 

Dia juga menyoroti tudingan China yang menilai Indonesia melakukan praktik dumping. Hal ini menyusul posisi Indonesia sebagai produsen stainless steel berbiaya terendah di dunia.

Namun, hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia yang menawarkan berbagai fasilitas finansial dan insentif lain kepada perusahaan pengolahan nikel di dalam negeri.

Alhasil, biaya produksi stainless steel di Indonesia dinilai lebih murah dibanding negara lain karena beberapa faktor strategis. Hal ini juga menjadi bagian dari program hilirisasi nikel. 

“Larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 membuat pasokan bahan baku wajib diolah di dalam negeri. Dari proses ini, dihasilkan produk turunan seperti NPI dan selanjutnya SS. Industri ini umumnya terpusat di kawasan industri seperti IMIP dan IWIP yang terintegrasi secara logistik, energi, dan infrastruktur sehingga efisien secara biaya,” jelasnya. 

Dia memahami bahwa China selama ini merupakan pasar utama ekspor stainless steel Indonesia. Namun, perlambatan ekonomi di negara tersebut dalam beberapa bulan terakhir turut memukul permintaan dan kondisi serupa terjadi di pasar lain.

Kendati demikian, kelebihan pasokan akibat turunnya permintaan ini menyebabkan harga produk berbasis nikel menurun tajam sepanjang 2025, termasuk harga nikel dunia. 

“Kondisi tersebut makin diperparah dengan pengenaan BMAD, yang membuat margin keuntungan produsen semakin tergerus,” terangnya.

Apalagi, untuk mencari pasar ekspor baru selain China masih sulit dilakukan karena kondisi geopolitik dan ekonomi global yang tidak kondusif.

Meski begitu, Sudirman melihat ada peluang untuk memperdalam hilirisasi nikel hingga ke produk akhir (end product). Dia menilai selama ini industri nikel Indonesia baru sampai pada tahap intermediate product seperti NPI dan SS.

Padahal, potensi besar masih terbuka untuk pengembangan produk akhir yang aplikatif berbasis nikel. Sayangnya, industri ini masih belum berkembang secara signifikan di Indonesia. 

“Faktanya, industri down stream berbasis nikel di Indonesia, masih belum berkembang sehingga hampir seluruh produk NPI dan stainless steel masih diekspor ke luar negeri,” pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper