Bisnis.com, JAKARTA — Kelompok negara-negara BRICS kembali gagal membuat kemajuan signifikan dalam pengembangan sistem pembayaran lintas batas (cross border payment) untuk perdagangan dan investasi yang telah mereka bahas selama satu dekade terakhir.
Dalam pernyataan resmi pada pembukaan pertemuan puncak di Brasil yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (7/7/2025), para pemimpin BRICS menyatakan akan melanjutkan diskusi mengenai inisiatif sistem pembayaran lintas batas.
Diskusi tersebut akan ditugaskan kepada menteri keuangan dan gubernur bank sentral masing-masing negara. Bank Sentral Brasil dijadwalkan mempresentasikan survei terkait pada pertemuan dua hari di Rio de Janeiro.
Meski aspirasi penguatan integrasi ekonomi terus digaungkan, kemajuan BRICS dinilai tertinggal dari laju perubahan perdagangan global yang makin cepat, terutama di tengah tekanan terhadap dolar AS akibat kebijakan Presiden Donald Trump yang dinilai tidak konsisten.
Dolar AS mencatat kinerja awal tahun terburuk sejak 1973, dipicu oleh perang dagang Trump dan tekanannya terhadap The Fed untuk memangkas suku bunga. Gejolak ini membuat investor mengalihkan dana ke pasar negara berkembang, membuka peluang yang seharusnya bisa dimanfaatkan BRICS.
Hambatan Teknis dan Politik
Meski semua anggota BRICS mendukung ide integrasi sistem pembayaran lintas batas sejak pertama kali dibahas pada 2015, tantangan teknis dan politis masih menjadi kendala utama.
Baca Juga
Menurut sejumlah sumber, sistem perbankan di beberapa negara anggota belum siap dan butuh waktu untuk penyesuaian.
Isu yang menjadi penghambat meliputi mekanisme pembayaran, jenis mata uang yang digunakan, infrastruktur, dan skema pembagian biaya. Kekhawatiran keamanan sistem juga mencuat, apalagi setelah perluasan keanggotaan BRICS yang membuat proses kian kompleks.
Selain itu, sebagian mata uang anggota BRICS tidak bersifat konvertibel, sementara sanksi terhadap Iran dan Rusia turut memperkeruh diskusi. Beberapa negara menilai biaya pembentukan sistem terpadu tidak sebanding dengan manfaatnya, mengingat perdagangan bilateral sudah berjalan cukup baik.
Manuver China dan Tanggapan Trump
China, di tengah kekacauan kebijakan AS, memanfaatkan momentum ini dengan memperluas peran global yuan. Gubernur Bank Sentral China Pan Gongsheng bahkan mempresentasikan visi pembukaan pasar keuangan dan menjadikan yuan sebagai mata uang utama dalam arus modal global.
Beijing juga sedang menyiapkan peluncuran kontrak berjangka mata uang yuan domestik dan memperluas cakupan sistem pembayaran lintas batas CIPS miliknya, untuk menjangkau lebih banyak bank asing.
Sementara itu, Presiden Trump mengancam akan mengenakan tarif hingga 100% bagi negara BRICS yang bertransaksi tanpa menggunakan dolar. Namun, ancaman tersebut justru memicu ketertarikan untuk mengembangkan sistem pembayaran lokal di antara negara anggota.
Meski begitu, sejumlah pejabat menegaskan bahwa gagasan penghapusan dolar atau pembentukan mata uang tunggal belum menjadi agenda resmi BRICS.
Tatiana Rosito, Sekretaris Hubungan Internasional Kementerian Keuangan Brasil mengatakan, tujuan pembahasan cross border payment adalah menurunkan biaya pembiayaan perdagangan. Salah satunya dengan memperluas penggunaan mata uang lokal.
Menurutnya, bank-bank menyebut saat ini masih diperlukan konversi yuan ke dolar, tetapi harapannya hal itu tidak diperlukan lagi di masa depan
“Jika pasar menjadi likuid, akan terbentuk kurs langsung antara real dan yuan, real dan rupee, atau real dan rand. Namun itu sangat bergantung pada volume perdagangan dan investasi antarnegara," katanya.
Dalam pernyataan bersama, BRICS juga menyoroti tantangan tambahan dari fluktuasi kebijakan keuangan dan moneter di negara-negara maju, terutama bagi negara-negara yang memiliki beban utang tinggi.
“Suku bunga yang tinggi dan kondisi pembiayaan yang ketat memperburuk kerentanan utang di banyak negara,” tulis pernyataan tersebut.
Sebagai solusi, BRICS juga tengah membahas pembentukan inisiatif jaminan multilateral (BRICS Multilateral Guarantees/BMG) untuk meningkatkan kelayakan kredit negara-negara anggota dan kawasan Global South. Inisiatif ini akan dimulai di bawah pengelolaan New Development Bank (NDB) tanpa perlu suntikan modal tambahan di tahap awal.