Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap peningkatan impor tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, hingga produk agro asal China yang melonjak ke pasar Indonesia jelang penerapan tarif Trump pada 9 Juli 2025.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mengatakan, pihaknya tak memungkiri dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China akan berpotensi mendorong trade diversion atau pengalihan pasar perdagangan.
“Ini salah satunya yang kita perhatikan di industri tekstil dan produk tekstil serta alas kaki sebagai sektor strategis yang berkontribusi signifikan terhadap ekspor manufaktur nasional,” ujar Faisol dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI, Rabu (2/7/2025), dikutip Kamis (3/7/2025).
Untuk diketahui, AS merupakan pasar utama dari produk TPT dan alas kaki Indonesia dengan pangsa pasar masing-masing sebesar 40,6% dan 34,2% pada 2024.
Artinya, nyaris setengah dari ekspor TPT dan sepertiga ekspor alas kaki bergantung pada permintaan AS. Adapun, 95% ekspor TPT ke AS merupakan produk pakaian jadi yang merupakan industri padat karya.
“Posisi ini mencerminkan bahwa produk TPT dan alas kaki Indonesia memiliki daya saing global. Namun, rentan karena perubahan peta pasukan global yang dipicu ketegangan geopolitik dan tarif masing-masing negara,” jelasnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Faisol melihat pangsa pasar China di AS mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 2020, produk TPT China masih menguasai pasar AS hingga 38,4%. Namun, pada 2024 hanya dapat mencapai 25,6%.
Hal serupa juga terjadi pada produk alas kaki, di mana pangsa pasar China di AS turun dari 42% pada 2020 menjadi 36,1% pada tahun lalu. Kondisi ini yang membuat pemerintah mewaspadai adanya potensi dumping produk China ke Indonesia.
Apalagi, terdapat kondisi peningkatan nilai impor TPT dari China ke Indonesia yang mencapai 8,84%, sedangkan impor produk alas kaki naik melonjak hingga 30,89% pada Januari hingga April 2025.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah strategis melindungi pasar domestik sekaligus memanfaatkan peluang expands to export yang terbuka di pasar global,” jelasnya.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk tekstil (HS 60-63) dari China ke Indonesia tercatat senilai US$834 juta pada Januari-April 2025, melonjak dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$309,7 juta.
Hal serupa juga terjadi pada produk alas kaki (HS 64) yang nilai impornya dari China tercatat mencapai US$199,4 juta pada Januari-April 2025 atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$152,36 juta.
Tak hanya TPT dan alas kaki, Faisol juga menyoroti produk dari sektor industri agro, yang juga merupakan industri padat karya, saat ini terdapat indikasi adanya pengalihan pasar produk China dari Amerika.
Pada Januari-April 2025 terlihat bahwa ekspor produk agro China ke Amerika turun sebesar US$1,17 miliar atau sekitar 7%, sementara pada saat yang sama Indonesia justru mencatat melonjakan impor produk agro dari China sebesar US$477.000 meningkat sekitar 30%.
“Sekurang-kurangnya terdapat 7 pos HS yang menunjukkan kenaikan impor yang signifikan. Mulai dari HS23 yaitu limbah industri makanan dan pakan ternak naik sekitar 11%, HS03 ikan dan krustase, dan HS18 kakao dan olahan melonjak impornya lebih dari 100%. Pelonjakan tertinggi terjadi pada produk perikanan yaitu sekitar 105,4%,” jelasnya.
Menurut Faisol, kondisi ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah dan pelaku usaha Indonesia untuk mencermati dampak dari trade diversion terhadap struktur impor nasional. Namun, tetap mencari peluang untuk memetakan potensi dan tantangan industri di dalam negeri.