Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat (AS) masih menjadi negara penyumbang surplus terbesar neraca perdagangan terbesar Indonesia selama Januari—Mei 2025. Sebaliknya, China masih menjadi negara penyumbang defisit neraca perdagangan terbesar Indonesia pada periode yang sama.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini mengungkapkan tiga negara penyumbang surplus neraca perdagangan terbesar yaitu AS (US$7,98 miliar), India (US$5,3 miliar), dan Filipina (US$3,69 miliar) selama Januari—Mei 2025.
Sementara itu, tiga negara penyumbang defisit neraca perdagangan terbesar yaitu China (US$8,15 miliar), Singapura (US$2,79 miliar), dan Australia (US$2,11 miliar) selama Januari—Mei 2025.
Sementara itu per Mei 2025, BPS mengumumkan neraca perdagangan Indonesia mencapai surplus US$4,3 miliar.
"Neraca perdagangan indonesia telah mencatat surplus selama 61 bulan berturut turut sejak Mei 2020," ujar Pudji pada Selasa (1/7/2025).
Dia menjabarkan bahwa Indonesia mencatatkan ekspor senilai US$24,61 miliar atau naik 9,68% (year on year/YoY). Adapun, nilai impor mencapai US$20,31 miliar atau naik 4,14% YoY.
Baca Juga
Alhasil Indonesia mencatatkan surplus neraca dagang US$4,3 miliar. Pada saat yang sama, neraca perdagangan nonmigas tercatat defisit US$1,53 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Sebelumnya, konsensus proyeksi 16 ekonom yang dihimpun Bloomberg menyebut median nilai surplus neraca perdagangan pada Mei 2025 diperkirakan mencapai US$2,39 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi surplus pada April 2025 yang hanya sebesar US$160 juta.
Estimasi tertinggi berasal dari ekonom Mega Capital Indonesia, Lionel Priyadi, yang memperkirakan surplus perdagangan mencapai US$4,9 miliar. Di sisi lain, estimasi terendah berasal dari ekonom Oversea-Chinese Banking, Lavanya Venkateswaran, yang memperkirakan defisit sebesar US$1,8 miliar.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual memperkirakan surplus neraca dagang mencapai US$4,01 miliar pada Mei 2025. Ia menilai lonjakan surplus tersebut lebih disebabkan oleh pelemahan impor yang cukup tajam.
Secara perinci, David memaparkan bahwa ekspor naik sebesar 5,52% secara tahunan (YoY) dan tumbuh 13,58% secara bulanan (MoM). Di sisi lain, impor hanya naik tipis 0,74% (YoY), bahkan mencatat penurunan 5,06% secara bulanan.
"Secara keseluruhan terms of trade Indonesia turun dibandingkan bulan lalu, terutama karena harga CPO turun relatif lebih dalam dibandingkan minyak atau batubara," jelas David kepada Bisnis, Senin (30/6/2025).
Mengacu pada big data, ia menyebutkan bahwa baik belanja dari sisi importir maupun penerimaan dari eksportir sama-sama mengalami perlambatan. Namun, penurunan belanja impor lebih signifikan, mencapai -20%.
"Dari rilis data ekspor-impor negara lain terhadap Indonesia, impor Indonesia memang jauh lebih melambat dibandingkan ekspor sehingga surplus membesar," ungkapnya.