Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah bank sentral di dunia telah mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya pekan ini.
Melansir Reuters pada Jumat (20/6/2025), Bank Sentral Swiss dan Bank Sentral Norwegia, secara mengejutkan menurunkan suku bunga acuannya di tengah prospek inflasi yang melemah. Langkah tersebut berseberangan dengan peringatan dari Federal Reserve Amerika Serikat (AS) yang masih mencemaskan tekanan harga dalam negeri.
Swiss National Bank (SNB) memutuskan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0%, dan tidak menutup kemungkinan untuk kembali menerapkan suku bunga negatif.
“Tekanan inflasi menurun dibandingkan kuartal sebelumnya,” ungkap bank tersebut.
Langkah serupa diambil oleh Bank Sentral Norwegia, yang selama ini dikenal paling hawkish di antara bank sentral besar dunia. Mereka memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dan membuka peluang pelonggaran lebih lanjut karena prospek inflasi yang melemah.
“Inflasi telah menurun sejak pertemuan kebijakan moneter Maret lalu, dan proyeksi inflasi untuk tahun depan menunjukkan penurunan lebih lanjut,” kata Gubernur Ida Wolden Bache, mengacu pada inflasi yang melambat ke 2,8% pada Mei.
Baca Juga
Pernyataan ini senada dengan sikap Riksbank Swedia, yang sehari sebelumnya menurunkan suku bunga acuannya menjadi 2,00% dari 2,25%. Riksbank mengindikasikan pelonggaran tambahan masih mungkin dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lemah.
Pada 6 Juni lalu, Bank Sentral Eropa (ECB) juga memangkas suku bunga utama untuk kedelapan kalinya dalam setahun. Namun, ECB memberi isyarat akan menahan langkah pelonggaran pada bulan depan setelah inflasi kembali ke target 2% untuk pertama kalinya dalam tiga tahun.
Sementara itu, Bank of England (BOE) memilih menahan suku bunga seperti yang diperkirakan. Namun, BOE memberi sinyal bahwa pelonggaran kebijakan akan dilakukan secara bertahap, seraya mengakui adanya ketidakpastian global yang meningkat.
Adapun, ketidakpastian ini diperparah oleh ancaman Presiden AS Donald Trump terhadap tarif perdagangan global dan eskalasi konflik Israel-Iran, yang membuat bank sentral di berbagai negara harus menavigasi kebijakan di tengah ketidakpastian ekonomi yang nyaris belum pernah terjadi sebelumnya.
Ketua The Fed Jerome Powell, seusai pertemuan kebijakan dua hari yang memutuskan untuk mempertahankan suku bunga, menjelaskan bahwa tarif impor terhadap mitra dagang AS akan mendorong kenaikan harga bagi konsumen domestik.
Trump sendiri diperkirakan akan segera mengumumkan apakah tarif 10% saat ini akan dinaikkan secara luas, bahkan berpotensi dua kali lipat. Langkah ini diyakini akan melemahkan ekonomi global, namun secara tidak langsung menahan tekanan inflasi di berbagai negara lain.
Ketidakpastian Global Ciptakan Tantangan Baru
Sementara itu, Bank of Japan memutuskan mempertahankan suku bunga dan menyatakan akan berhati-hati dalam menghapus stimulus yang telah berlangsung selama satu dekade. Gubernur Kazuo Ueda menyebutkan risiko utama saat ini adalah dampak dari tarif AS terhadap perekonomian Jepang.
Gelombang keputusan bank sentral besar dunia yang tergabung dalam Group of 10 mencerminkan ekspektasi bahwa perdagangan global yang semakin terbatas akan berdampak besar pada arah kebijakan moneter ke depan.
Untuk ekonomi AS sendiri, The Fed memperkirakan kondisi stagflasi ringan, dengan pertumbuhan melambat ke 1,4% pada 2025, pengangguran naik ke 4,5%, dan inflasi tetap tinggi di angka 3% pada akhir tahun depan.
Meski The Fed masih memberi sinyal pelonggaran suku bunga di 2025, Powell menegaskan bahwa semua proyeksi tersebut bersifat tentatif dan sangat bergantung pada data ekonomi mendatang.
“Tidak ada yang terlalu yakin dengan proyeksi jalur suku bunga ini. Semua orang sepakat bahwa semuanya tergantung pada data,” ujarnya.
Trump Desak Penurunan Suku Bunga
Trump kembali melontarkan kritik terhadap Jerome Powell karena tidak segera menurunkan suku bunga sejak dirinya kembali menjabat Presiden AS. Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyebut kebijakan Powell membuat pemerintah AS harus membayar lebih dalam biaya utang.
“Jerome Powell membuat negara kita kehilangan ratusan miliar dolar... Kita seharusnya sudah 2,5 poin lebih rendah,” tulis Trump.
Di sisi lain, negara-negara lain memperkirakan tarif tinggi Trump akan menekan industri domestik mereka dan melemahkan pertumbuhan serta pasar tenaga kerja. Namun, setidaknya mereka akan terhindar dari inflasi tinggi yang diperkirakan akan menimpa konsumen AS.
Meski demikian, kondisi ini bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung pada apakah konflik di Timur Tengah mendorong lonjakan harga minyak lebih tinggi dari saat ini, dan apakah negara-negara mitra dagang AS akan membalas dengan tarif tandingan.
Situasi diperkirakan akan semakin jelas mulai 9 Juli mendatang, ketika Trump menyatakan bahwa seluruh negara akan dikenai tarif lebih tinggi jika tidak segera mencapai kesepakatan dagang dengan AS.