Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemenkeu Siap Rombak Belanja Negara jika Perlu Antisipasi Dampak Konflik Israel-Iran

Konflik Israel dan Iran dapat memengaruhi harga komoditas dan sentimen pasar keuangan global, yang nantinya bisa berefek ke penerimaan maupun belanja negara.
Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu). / dok kemenkeu.go.id
Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu). / dok kemenkeu.go.id

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan atau Kemenkeu siap melakukan penyusunan ulang belanja negara untuk antisipasi dampak negatif dari konflik Israel-Iran.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kemenkeu Deni Surjantoro menyatakan pihaknya terus memantau berbagai perkembangan situasi geopolitik global, termasuk ketegangan antara Iran dan Israel yang memunculkan sejak akhir pekan lalu.

Apalagi, Kemenkeu berpendapat konflik di kawasan Timur Tengah itu berpotensi memberikan dampak luas ke perekonomian global.

"Khususnya melalui jalur harga komoditas energi seperti minyak dan gas, serta sentimen pasar keuangan global," ujar Deni kepada Bisnis, Senin (16/6/2025).

Memang, melansir Bloomberg, harga minyak berjangka Brent untuk kontrak pengiriman pengiriman Agustus 2025 menguat 2,8% menjadi US$76,29 per barel pada pukul 05.30 WIB, Senin (16/6/2025), setelah menguat 7% pada akhir pekan lalu.

Sejalan, berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengakhiri perdagangan Jumat (13/6/2025) dengan melemah 0,38% atau 61 poin ke level Rp16.303,5 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan Senin (16/6/2025), rupiah kembali melemah 0,02% atau 4 poin ke level Rp16.307,5.

Oleh sebab itu, Kemenkeu menyiapkan sejumlah langkah antisipatif untuk meminimalisir rambatan negatif konflik Israel-Iran. Deni mengungkapkan pemerintah akan antisipatif dengan menyiapkan berbagai kebijakan stimulus fiskal yang terarah dan terukur, agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan sektor produktif tetap bergerak.

"Termasuk strategi rekonstruksi belanja negara untuk menghasilkan belanja yang lebih berdampak. Upaya ini menjadi bagian dari strategi jangka menengah dalam menjaga kualitas belanja dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan," ungkapnya.

Selain itu, Kemenkeu meyakini fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat menghadapi tantangan eksternal. Dia mencontohkan konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Oleh sebab itu, sambung Deni, pemerintah akan terus berupaya optimistis dengan melakukan asesmen yang detail dan berbagai respons kebijakan.

"Berbagai periode tekanan memberikan keyakinan kepada pemerintah bahwa Indonesia akan mampu melaluinya, seperti dalam menghadapi Covid-19 misalnya," katanya.

Potensi Pelebaran Defisit APBN

Berdasarkan laporan Bloomberg, harga minyak mentah berpotensi melonjak hingga melampaui US$100 per barel apabila konflik semakin parah, terutama apabila ada gangguan pada pengiriman melalui Selat Hormuz, jalur vital yang dilalui sekitar 20%—25% minyak global.

Masalahnya, asumsi makro APBN 2025 sudah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$82 per barel.

Dalam analisis sensitivitas APBN 2025, pemerintah menghitung bahwa setiap kenaikan harga ICP sebesar US$1 per barel akan membuat belanja negara membengkak hingga US10,1 triliun rupiah. Di sisi lain, pendapatan negara hanya naik US$3,2 triliun.

Artinya, kenaikan sisi belanja lebih besar dibandingkan sisi penerimaan. Dengan demikian, kenaikan harga minyak berpotensi meningkatkan defisit anggaran.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak memang berdampak positif dari sisi penerimaan karena berpotensi menambah setoran PPh dan PNBP minyak dan gas (migas).

Hanya saja, kenaikan harga minyak juga meningkat dari sisi belanja negara seperti subsidi energi dan setoran dana bagi hasil migas ke pemerintah daerah.

Oleh sebab itu, Fajry mengingatkan perlunya pemerintah melakukan penyesuaian anggaran jika tren harga ICP terus menjauh dari asumsi APBN 2025. Dia sendiri tidak sepakat apabila penyesuaian tersebut dilakukan dengan menaikkan harga BBM atau tabung LPG 3 kg.

“Dengan kondisi ekonomi yang ada dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang tinggi, mencabut subsidi energi bukan opsi yang tepat,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (16/6/2025).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper