Bisnis.com, CIAMIS — Warga Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat tampak sibuk pada Selasa (3/6/2025). Meski begitu, mereka selalu menyempatkan melempar senyum kepada pengunjung yang mulai berdatangan.
Aktivitas di desa tersebut menjadi ramai usai ditetapkan sebagai Kampung Nila sejak 2021 lalu. Ingar bingar kian menjadi setelah tempat itu ditetapkan sebagai lokasi Smart Fisheries Village (SFV) atau kampung perikanan cerdas pada 2023 lalu.
Kini, para penduduk pun mampu meraup omzet hingga miliaran rupiah saban tahun. Pundi-pundi itu didulang lewat budidaya ikan dan pemasaran produk olahan.
Desa yang terletak 20 kilometer (km) sebelah utara Alun-alun Ciamis itu berbeda dengan pemukiman pada umumnya. Memasuki desa, suasana tak ubahnya tempat wisata.
Di bagian depan kampung budidaya ikan yang tepatnya terletak di Dusun Banjarwaru tersebut terdapat gapura dengan tulisan "Kampung Nila Kawali". Dari mulut gapura membentang jalanan beton yang di kanan kirinya terhampar petak-petak kolam ikan.
Suasana terasa asri karena dikelilingi perbukitan dan lembah. Sayup-sayup terdengar suara aliran air yang berasal dari Sungai Cikadongdong dan Cibulan yang mengapit desa.
Baca Juga
Total kolam ikan di desa ini mencapai 132 Dengan potensi pengembangan areal budidaya mencapai 10 hektare (HA). Kolam tersebut merupakan milik pribadi warga yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Perikanan (Gapokkan).
Ketua Gapokkan Kampung Nila Kawali Iim Gala Permana mengatakan, produksi ikan nila di SFV Kampung Nila Kawali mencapai 3 kuintal per hari atau 9 ton per bulan.
Dengan nilai jual ikan nila sekitar Rp30.000 per kg, rata-rata omzet sehari sekitar Rp9 juta atau mencapai Rp3,2 miliar per tahun. Menurut Iim pencapaian itu bisa didapat berkat pemanfaatan strategi pengembangan ikan Sistem Budi Daya dengan Sentuhan Kincir Air (Sibudikuncir).
Iim juga mengatakan warga Desa Kawali telah membangun sistem kemitraan dengan pasar. Dengan begitu, hasil produksi ikan nila sudah pasti terjual.
"Kami juga membangun sistem kemitraan pasar ada beberapa, 6 kecamatan lah kami punya mitra sehingga dari beberapa kecamatan ini ada pasar yang langsung mengambil ke sini. Jadi di sini ada harga eceran, ada harga grosir," jelas Iim saat ditemui Bisnis di Desa Kawali.
Bisnis berbincang dengan Iim di salah satu gazebo rumah makan yang tepat berada di atas kolam. Maklum, di desa itu kini hadir sejumlah rumah makan yang menawarkan menu utama olahan ikan nila.
Pengunjung sudah berbondong-bondong memadati gazebo. Sambil menunggu pesanan datang, mereka asyik mengobrol. Sementara bocah-bocah yang ikut tampak riang menyaksikan ikan-ikan gemuk berenang.
Di bagian lain, ibu-ibu warga Desa Kawali yang mengelola rumah makan disibukan melayani para pengunjung. Sebagian dari mereka ada yang menyiapkan makanan di dapur dan sebagian mencatat pesanan.
Iim pun menjelaskan bahwa saat ini para warga desa terberdayakan. Sebab, warga desa telah melakukan pengolahan ikan dari hulu ke hilir.
Adapun sejumlah rumah makan yang ada di Desa Kawali di antaranya Pojok Seblak, RM Kampung Nila, Pawon Lembah Ereng, Pondok Segar, dan Kedai Kampung Nila.
Selain rumah makan, warga juga mengolah ikan nila menjadi berbagai camilan lewat Kelompok Pengolah dan Pemasar Hasil Perikanan (Poklahsar). Sejumlah produk olahan itu seperti ice cream nila, Brownies Nila, Nyai Krenyes, Sipatuka, Kicimpring Nila, hingga Bolu Kijing Nila.
Menurut Iim, pengolahan ikan nila tersebut pun berhasil membuka lapangan kerja bagi para pemuda. Adapun omzet dari seluruh olahan pangan itu bisa mencapai rata-rata Rp400 juta per bulan atau Rp4,8 miliar per tahun.
"Secara ekonomi mungkin terdampak juga ya, karena dari budidaya ini dampaknya kan sekarang ke kuliner. Ada juga yang pengembangan kuliner terus ada juga yang mungkin jadi membuka lapangan kerja," jelas Iim.
Tantangan Memajukan Budidaya Ikan
Kendati demikian, pengembangan perikanan itu bukan tanpa tantangan. Iim menyebut pihaknya masih memiliki sejumlah batu ganjalan.
Dia menyebut salah satu hambatannya adalah masalah persepsi dari para pembudidaya ikan. Ini khususnya terkait penjualan.
Iim menuturkan, terkadang masih ada pembudidaya yang menjual produk di luar kontrak yang sebelumnya disepakati. Dia menilai hal ini terjadi karena masing-masing pembudidaya memiliki persepsi sendiri.
"Misalnya, sudah kontrak mitra eh ternyata ada yang jual keluar segala macam lah. Ditambah lagi sekarang sudah berkelompok yang namanya kelompok itu kan minimal 10 orang biasanya 10 kepala itu 10 pendapat, 10 kemauan. Nah itu biasanya kadang-kadang yang membuat kelompok ini ya ada masalah," tutur Iim.
Namun, dia mengatakan permasalah itu acap kali bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Selain itu, penguatan kolaborasi juga terus dipererat.