Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara masif membuka peluang besar bagi pertumbuhan industri panel surya di dalam negeri. Namun, pengembangan industri ini masih menghadapi banyak tantangan lantaran belum terbentuknya ekosistem rantai pasok yang efisien.
Adapun, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) Tahun 2025-2034, penambahan kapasitas PLTS ditargetkan mencapai 17,1 gigawatt (GW). Porsi ini menjadi yang terbesar di antara rencana penambahan pembangkit energi baru terbarukan yang ditarget mencapai 42,6 GW secara keseluruhan.
Sebelumnya, pada RUPTL 2021-2030, kontribusi PLTS hanya sebesar 4.680 megawatt (MW) atau 12% dari total kapasitas listrik EBT baru sebesar 40,6 GW.
Merespons peluang tersebut, PT PLN Indonesia Power (IP) berencana menambah kapasitas pabrik panel surya atau solar panel terintegrasi di Kendal, Jawa Tengah.
Direktur Pengembangan Bisnis dan Niaga PLN IP Bernadus Sudarmanta mengatakan, saat ini pabrik photovoltaik (PV) module yang dioperasikan perusahaan patungan anak usahanya itu memiliki kapasitas 1 gigawatt peak (GWp) per tahun dengan produk tier-1 dan capaian tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai 41%.
"Rencana penambahan kapasitas selanjutnya adalah 3 GWp yang di targetkan pada 2030 bergantung kepada kebutuhan pasar," kata Bernadus kepada Bisnis, Kamis (29/5/2025).
Baca Juga
Untuk diketahui, pabrik panel surya terintegrasi pertama di Indonesia itu dibangun lewat perusahaan patungan anak usaha PLN IP dan PT Trina Mas Agra Indonesiaa, yaitu PLN Indonesia Power Renewables dengan Trina Solar Co. Ltd, dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA).
Kendati demikian, Bernadus menerangkan terdapat tantangan bisnis modul surya di Indonesia, khususnya terkait market Indonesia.
"Pabrik PV lokal masih sulit bersaing dengan modul PV yang langsung diimpor dari China dikarenakan material lokal masih terbatas dan relatif lebih mahal, belum terbentuk rantai pasokan yang efisien," ujarnya.
Di sisi lain, dia juga menyoroti kebijakan TKDN pada pabrik solar panel di Indonesia. Semula, PLN IP mempertimbangkan investasi pabrik sel dan panel surya lantaran kebijakan pemerintah terkait roadmap TKDN yang jelas dan ketat.
Alhasil, pihaknya menilai opsi membangun pabrik PV module menjadi kewajiban untuk mendorong pertumbuhan kapasitas PLTS di Indonesia.
"Namun, hari ini, aturan terkait TKDN ini mengalami perubahan dan peta jalan peningkatan kandungan lokalnya sampai hari ini masih belum jelas atau masih dalam pembahasan," jelasnya.
Dalam hal ini, Bernadus menyebut mitra investasi dalam pembangunan pabrik ini menahan diri untuk meneruskan rencana ekspansi. Apalagi, investasi yang sudah berjalan saja belum sepenuhnya terutilisasi.
Hilirisasi Pasir Kuarsa
Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (Hipki) berharap peluang dari target masif pembangunan PLTS dapat mendorong pengembangan industri rantai pasok panel surya domestik.
Hingga saat ini, hilirisasi pasir kuarsa sebagai bahan baku panel surya belum terkembang di Indonesia. Padahal, pasir kuarsa atau silika telah ditetapkan sebagai salah satu dari 47 mineral kritis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2023 lalu.
Ketua Umum Hipki Ady Indra Pawennari mengatakan, permintaan atau daya serap komoditas pasir kuarsa masih minim di pasar domestik. Faktanya, lanjut Ady, hingga saat ini pengembangan ke hilir dari pasir silika masih tersendat sehingga penambang masih sepenuhnya mengekspor.
“Tantangan terbesarnya masih ketersediaan dan daya serap. Pasar domestik pasir silika untuk diolah menjadi solar panel di dalam negeri masih sangat terbatas, bahkan mungkin belum ada,” kata Ady kepada Bisnis, Selasa (27/5/2025).
Mestinya, pemanfaatan pasir silika di dalam negeri dapat digunakan untuk industri kaca, industri semen, industri keramik, dan industri barang dari semen. Bahkan, silika juga menjadi bahan baku penting untuk industri solar panel.
Namun, hingga saat ini, Indonesia baru memiliki industri perakitan silicon wafers menjadi solar panel. Sementara itu, industri pengolahan pasir kuarsa menjadi silicon wafers belum ada.
“Industri pengolahan material dari pasir kuarsa menjadi ingot dan silicon wafers sebelum diproses menjadi solar panel belum ada di Indonesia. Maka sampai saat ini, Hipki belum ada menerima permintaan dari industri dalam negeri,” ujarnya.
Di samping itu, dalam data Kementerian ESDM, sumber daya dan cadangan pasir kuarsa pada 2023 berada di 478 lokasi dengan total sumber daya sebanyak 13,47 miliar ton dengan total cadangan 3,40 miliar ton.
Kendati demikian, Kementerian Perindustrian per September 2023 mengklaim pemanfaatan pasir kuarsa di sisi industri hulu telah mencapai 65,32% yang menghasilkan tiga jenis produk utama yaitu pasir silika, tepung silika dan resin coated sand.
Adapun, kapasitas pengolahan tersendiri (tidak terintegrasi dengan tambang) sebesar 738.536 ton/tahun yang telah dipasang oleh 21 perusahaan di bawah binaan Kementerian Perindustrian.
Di samping itu, Hipki juga menyoroti masalah regulasi dan kebijakan. Untuk diketahui, perizinan pertambangan pasir kuarsa saat ini berada pada kewenangan gubernur, termasuk penentuan harga patokan mineral (HPM) yang menjadi acuan untuk menghitung pajak daerah.
Sementara itu, besaran pajak daerah menjadi kewenangan kabupaten. Menurut Ady, regulasi yang ada saat ini seringkali diterjemahkan berbeda di setiap daerah, belum lagi terdapat ego sektoral dinas-dinas terkait, membuat tidak ada kepastian aturan yang bisa dijadikan acuan secara nasional.
“Akibatnya perizinan menjadi semakin rumit sehingga banyak perusahaan yang berhenti di tengah jalan. Bahkan, saat izinnya belum selesai berproses,” tambahnya.
Tak hanya itu, Ady juga menuturkan, terdapat masalah mentalitas birokrasi yang sangat berorientasi jangka pendek. Di beberapa daerah, dia melihat HPM pasir kuarsa dan pajak daerah dipatok begitu tinggi, bahkan tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan dalih peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Misalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) disebutkan bahwa Dasar pengenaan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB yang dihitung perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan (HPM) tiap jenis MBLB pada mulut tambang.
Namun, ada provinsi yang menetapkan HPM bukan pada harga di mulut tambang, tetapi di stockpile pelabuhan. Bahkan, di atas tongkang. Alhasil, pajak melambung tinggi yang membuat banyak proyek tambang pasir kuarsa menjadi tidak layak secara ekonomi.
“Akibatnya, daya tarik investasi menurun dan daya saing melemah. Tidak ada insentif sama sekali, sementara kalau kita berpikir industri dan jangka panjang, maka ekosistem investasi harus dibuat menarik dan kompetitif,” jelasnya.
Oleh karena itu, dari sisi hilir, pemerintah diminta harus mempercepat pengembangan indsutri solar panel dalam negeri, sebagai bagian dari ekosistem energi terbarukan (EBT). Dengan demikian, pasar domestik menjadi terbuka.
“Kedua, sederhanakan regulasi/proses perizinan. Jangan sampai ada celah tumpang tindih yang dapat memicu ego sektoral sehingga tidak ada kepastian perizinan,” jelasnya.
Ketiga, dia juga meminta peninjauan kembali semua regulasi di daerah terkait pasir kuarsa dan cabut atau intervensi yang dianggap tidak ramah investasi dan tidak berorientasi jangka panjang.