Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Duh! Kontraksi PMI Manufaktur Diramal Berlanjut Kuartal II 2025

Apindo memproyeksi kontraksi PMI manufaktur Indonesia masih berlanjut hingga akhir kuartal II/2025. Apa penyebabnya?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyampaikan paparan saat konferensi pers Outlook Ekonomi dan Bisnis Apindo 2024 di Jakarta, Kamis (21/12/2023). JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyampaikan paparan saat konferensi pers Outlook Ekonomi dan Bisnis Apindo 2024 di Jakarta, Kamis (21/12/2023). JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani memproyeksi pelemahan laju ekspansi industri manufaktur Indonesia berlanjut hingga akhir kuartal II/2025 mendatang.

Hal ini merespons laporan S&P Global Purchasing Managers' Index (PMI) yang menunjukan indeks manufaktur Indonesia mengalami kontraksi ke level 46,7. Angka ini pun turun dari PMI Maret 2025, yakni 52,4. Asal tahu saja, skor PMI di bawah 50 berarti menunjukan penurunan aktivitas manufaktur.

Shinta menjelaskan, kontraksi PMI manufaktur RI pada April terjadi imbas respons pasar usai pengumuman tarif resiprokal di Amerika Serikat (AS). Kondisi tersebut menyebabkan dua hal yang secara langsung dan tidak langsung menekan PMI.

Pertama, pelemahan nilai tukar yang semakin dalam, menyebabkan cost-push inflation yang signifikan di sisi produksi. Kedua, ⁠pengurangan atau pembatalan pesanan ekspor dari buyer di sisi demand

Menurutnya, pengurangan demand ini tidak hanya terjadi dari pasar AS saja, tapi pasar global secara umum. Sebab, pelaku usaha mengantisipasi disrupsi di pasar-pasar global lain dan potensi resesi global yang meningkat.

Selain itu, kontraksi PMI pada April juga dikontribusikan oleh koreksi/normalisasi demand di pasar dalam negeri pascalebaran. 

"Karena kondisi-kondisi ini, kami memperkirakan PMI di bawah 50 [indeks non-ekspansif] masih dapat terus berlanjut setidaknya hingga akhir kuartal II/2025, meskipun kami berharap kontraksinya tidak sedalam kontraksi April 2025," ucap Shinta kepada Bisnis, Jumat (2/5/2025).

Secara realistis, kata dia, PMI manufaktur Indonesia akan terus tertekan selama pasar domestik belum mengalami penguatan nilai tukar yang signifikan.

Selain itu, PMI bakal terus tertekan selama RI belum bisa menciptakan perubahan iklim usaha/investasi yang lebih efektif di lapangan untuk meng-counter efek pelemahan kinerja manufaktur dari demand eksternal/ekspor.

Oleh karena itu, Shinta mengingatkan pemerintah untuk bertindak jika ingin PMI manufaktur tidak terus melemah. Menurutnya, pemerintah perlu menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar dalam waktu dekat. 

Dia menyebut, idealnya nilai tukar harus bisa dikembalikan ke level Rp16.100 per dola AS sebagaimana target asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025. 

Pemerintah, lanjut Shinta, juga perlu⁠mengstimulasi produktivitas sektor riil dan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Hal ini diperlukan untuk mendongkrak pertumbuhan daya beli kelas menengah domestik.

"Idealnya, stimulus-stimulus ini perlu dilakukan dengan reformasi-reformasi struktural terhadap kebijakan iklim usaha/investasi, seperti deregulasi yang lebih efektif, perluasan akses financing usaha, pengetatan audit atau penanggulangan korupsi atas pengeluaran APBN berskala besar, dan lain-lain," imbuh Shinta.

Dia pun mengingatkan, pemerintah menunda kebijakan stimulasi subsidi yang sifatnya tidak menstimulasi trickle down economic effect kepada pelaku usaha di dalam negeri. Shinta mencontohkan, kebijakan yang bisa ditunda itu seperti pengadaan Alat Utama Sistem Senjata atau Alutsista.

"Ini sebaiknya ditunda atau dikurangi agar potensi pelebaran defisit APBN bisa lebih dikendalikan dan menciptakan confidence yang lebih tinggi bagi pelaku pasar terhadap iklim usaha/investasi nasional," jelas Shinta.

Menurutnya, dengan langkah tersebut, pihaknya berharap iklim usaha atau investasi nasional memiliki stabilitas, kepastian, dan prediktabilitas usaha yang tinggi. Ini penting untuk menarik investasi dari dalam dan luar negeri.

"Daya beli pasar domestik pun bisa didongkrak ntk menciptakan pertumbuhan konsumsi dalam negeri dan mengkompensasi efek pelemahan demand manufaktur di sisi ekspor. Dengan demikian, PMI bisa kembali ke level ekspansif," kata Shinta.

Sebelumnya, S&P Global melaporkan PMI manufaktur RI terkoreksi ke level 46,7 pada April 2025. Angka tersebut menunjukkan penurunan kesehatan sektor manufaktur Indonesia dalam lima bulan terakhir.

"Sektor manufaktur Indonesia memasuki triwulan kedua 2025 dengan catatan kurang baik, kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Terlebih lagi, headline PMI menunjukkan tanda-tanda penurunan tajam pada kesehatan sektor sejak Agustus 2021," ujar Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti.

S&P Global menyebut, kontraksi PMI manufaktur RI disebabkan oleh penurunan tajam volume produksi dan permintaan baru. Permintaan dilaporkan melemah, baik dari pasar domestik maupun luar negeri.

Menanggapi hal ini, perusahaan-perusahaan memasuki mode pengurangan tenaga kerja dengan mengurangi aktivitas pembelian dan perekrutan pada awal kuartal II/2025 ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper