Bisnis.com, JAKARTA - PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam tidak bisa menjual bauksit tercuci (washed bauxite) sejak 1 April 2025. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang mengatur harga penjualan bauksit dengan mengacu harga patokan mineral (HPM).
Adapun, kebijakan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara.
Beleid yang berlaku mulai 1 Maret 2025 itu mengatur mengenai kewajiban bagi pemegang IUP/IUPK tahap kegiatan operasi produksi, pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian termasuk pemegang kontrak karya dan pemegang PKP2B, melakukan penjualan mineral logam dan batu bara yang diproduksi sesuai HPM atau harga patokan batu bara (HPB).
HPB yang dihitung menggunakan harga acuan batu bara (HBA), menjadi harga batas bawah penjualan batu bara. Demikian pula dengan HPM menjadi harga batas bawah penjualan mineral logam.
Direktur Utama Antam Nico Kanter mengatakan, kebijakan baru itu membuat produk bauksit Antam tak laku. Sebab, tidak ada pembeli yang berani membayar dengan harga sesuai HPM.
"Sejak 1 April kami sudah berhentikan penjualan. Karena kami coba [menjual] kepada buyer, tidak ada buyer atau smelter yang ada untuk membeli dengan harga HPM. Karena ini membuat mereka rugi," tutur Nico dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, dikutip dari siaran YouTube Komisi XII DPR, Kamis (1/5/2025).
Nico menyebut, HPM terlalu tinggi bagi para buyer. Padahal sebelum ada aturan tersebut, transaksi dengan buyer bisa dilakukan secara kesepakatan bersama atau business to business (B2B).
Dia pun mengatakan, tingginya HPM berisiko merugikan smelter alumina dalam negeri yang menggunakan bauksit sebagai bahan baku utama. Pasalnya, hal ini membuat sejumlah smelter menahan pembelian karena dinilai tidak ekonomis.
Di sisi lain, kebijakan dalam Kepmen ESDM Nomor 72 Tahun 2025 juga berpotensi membuat negara rugi. Sebab, dengan perusahaan tak melakukan penjualan, negara tidak menerima pemasukan royalti.
"HPM ini terlalu tinggi harganya. Oleh karena itu, kami setop tidak ada pembelian dan tidak ada pembayaran royalti apa-apa kepada negara," kata Nico.
Tak hanya bauksit, Nico juga menyebut pihaknya saat ini belum bisa menjual olahan nikel jenis feronikel (FeNi) karena tidak adanya pembeli buntut aturan baru itu.
Baca Juga
"Selain bauksit, yang juga terdampak dari HPM ini adalah bisnis smelter Antam khususnya feronikel. Sejak 1 April, kami sama sekali tidak ada penjualan karena tidak ada buyer yang mau membeli dengan patokan harga minimal HPM," ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM bahlil Lahadalia mengatakan, Kepmen Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 itu merupakan upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga penjualan komoditas mineral logam dan batu bara di pasar global maupun dalam negeri.
Bahlil menginginkan agar eksportir batu bara menggunakan HBA sebagai acuan transaksi ekspor. Hal ini lantaran penjualan ekspor batu bara Indonesia masih menggunakan harga acuan yang disepakati dengan pembeli dari negara lain.
Menurutnya, hal ini cukup merugikan. Sebab, terkadang batu bara Indonesia dihargai lebih murah dibandingkan negara lain.
"Nah, kita ini kan harus punya ide independensi, harus punya nasionalisme. Jangan harga batu bara kita ditentukan oleh orang lain harganya rendah. Aku enggak mau itu," kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (26/2/2025).
Oleh karena itu, dia pun menilai menjadikan HBA sebagai acuan ekspor merupakan keniscayaan. Dengan begitu, harga jual batu bara Indonesia di pasar internasional lebih menguntungkan.
Alhasil, penetapan harga mineral acuan (HMA) dan HBA pun kini akan dilakukan dua kali dalam 1 bulan, yakni setiap tanggal 1 dan 15. Sebelumnya, penetapan HMA dan HBA dilakukan 1 bulan sekali.