Bisnis.com, JAKARTA - Holding BUMN tambang MIND ID mendorong pemerintah untuk merevisi formula perhitungan harga patokan mineral (HPM), menyusul penetapan tarif baru royalti mineral dan batu bara (minerba).
Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo menilai alih-alih menaikkan tarif royalti, perombakan perhitungan HPM lebih berdampak meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Adapun, HPM merupakan harga yang menjadi acuan dalam transaksi jual beli komoditas mineral logam.
Revisi HPM, kata Dilo, akan meningkatkan harga jual komoditas mineral Indonesia di pasar global yang otomatis turut mengerek pendapatan negara.
"Harga naik, [tarif] royalti tetap, pasti [pendapatan] royaltinya naik. Pendapatan negara naik," ujar Dilo ketika ditemui, Kamis (17/4/2025).
Dilo menjelaskan bahwa formula HPM yang dipakai saat ini, khususnya untuk komoditas nikel, terlalu rendah dibandingkan indeks harga pasar internasional seperti Shanghai Metals Market (SMM).
Hal tersebut merugikan Indonesia karena kehilangan potensi nilai pasar yang dapat mengerek pendapatan negara. Sebaliknya, rendahnya harga jual nikel Indonesia justru menguntungkan produsen-produsen stainless steel, yang mendapat bahan baku murah di tengah tren kenaikan harga stainless steel.
Baca Juga
Untuk itu, pihaknya ingin mendorong adanya perubahan referensi harga dalam perhitungan HPM agar indeks harga yang dipakai benar-benar mencerminkan harga pasar dan negara tidak dirugikan.
"Kita referensi harga biasanya pakai LME [London Metal Exchange]. LME itu ngitungnya ada transaksi fisik dikali juga sama features derivative trading, dikali lagi sama intervensi inventory. Jadi kalau harga LME itu ketinggian, LME lepas inventory supaya harganya turun. Nah, itu kan enggak reflect sama kita," kata Dilo.
"Kita butuhnya transaksi fisik aja. Nah, yang pakai transaksi fisik itu SMM. Ini yang lagi kami advokasi, nanti tinggal ditambahin lagi sama correction factor-nya pemerintah supaya pemerintah bisa mengintervensi harga."
Untuk diketahui, HPM logam yang ditetapkan pemerintah salah satunya ditentukan berdasarkan variabel harga mineral acuan (HMA). Besaran HMA ditetapkan mengacu pada publikasi harga mineral logam yang dikeluarkan oleh London Metal Exchange (LME), London Bullion Market Association, Asian Metal, dan/atau Indonesia Commodity & Derivatives Exchange.
Usulan revisi HPM sebelumnya juga disuarakan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) seiring diterbitkannya aturan baru tarif royalti minerba. Penambang mengusulkan agar pemerintah merevisi formula HPM bijih nikel, feronikel, dan nickel pig iron (NPI).
“Saat ini, formula HPM dinilai terlalu rendah dibandingkan indeks harga pasar seperti Shanghai Metals Market sehingga dalam 2 tahun terakhir berpotensi menyebabkan kerugian nilai pasar hingga US$6,3 miliar,” terang Sekjen APNI Meidy Katrin.
APNI menilai formula HPM perlu diperbarui dengan memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada bijih limonit, yang selama ini belum dimonetisasi.
Dalam perhitungannya menunjukkan bahwa penyesuaian ini dapat meningkatkan HPM hingga lebih dari 100%, tergantung karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi.
Meidy juga menerangkan sejumlah dampak positif dari revisi formula HPM, seperti peningkatan penerimaan negara tanpa perlu menaikkan tarif royalti, meningkatnya margin usaha bagi perusahaan tambang untuk eksplorasi dan pengelolaan lingkungan.
“APNI juga mengusulkan evaluasi atas corrective factor [CF] HPM untuk feronikel yang kini tidak lagi relevan, serta penyesuaian satuan transaksi dari US$/dmt ke US$/ton nikel murni atau US$/nikel unit sesuai praktik pasar internasional,” tuturnya.