Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkap sejumlah investor di bidang hilirisasi pertambangan mulai meragu untuk menanamkan modal di Indonesia imbas kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba).
Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan, banyak dari investor tersebut yang akan membawa teknologi baru untuk membangun hilirisasi, tetapi terganjal regulasi dan jaminan usaha yang tidak stabil di Indonesia.
“Dari diskusi internal APNI, investor untuk teknologi baru di hilirisasi menyatakan wait and see, karena investor menginginkan adanya kosistensi hukum atau regulasi, dan jaminan berusaha,” kata Djoko kepada Bisnis, dikutip Selasa (29/4/2025).
Adapun, pemerintah baru-baru ini resmi menerbitkan ketentuan tarif baru royalti minerba melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Beleid yang menggantikan PP No. 26/2022 itu ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada 11 April 2025. Penerapan aturan tarif royalti baru ini mulai berlaku 15 hari terhitung setelah tanggal diundangkan atau pada 26 April 2025.
Djoko menilai perubahan peraturan tersebut memicu banyak perusahaan yang merupakan investasi asing atau foreign direct investment (FDI) mulai kesulitan arus kas.
Baca Juga
Sebab, investor asing di sektor ini banyak menggunakan pinjaman berbentuk valuta asing dan kondisi saat ini nilai rupiah melemah.
“Artinya sejak diberikan kebijakan fiskal baru ada indikasi IHSG meluncur ke bawah, perlu diketahui bahwa penambang sampai saat ini belum merasakan keadilan fiskal,” ujarnya.
Pihaknya mengaku keberatan khususnya terkait kenaikan tarif royalti nikel dari 10% menjadi 15%. Apalagi, harga komoditas nikel diproyeksi masih stagnan dalam 2 tahun mendatang.
Hal ini disebabkan teknologi baterai kendaraan listrik (EV) dan industri otomotif yang mengalami kemajuan pesat sehingga penambang nikel akan berkurang produksinya.
“Penambang perlu meningkatkan effisiensi sehingga harga pokok produksi tidak di atas harga komoditas karena penambang akan merugi,” tuturnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa kenaikan royalti nikel akan memberatkan para penambang nikel, terutama di tengah biaya operasional tinggi (infrastruktur, energi, dan pengolahan) akibat kenaikan biaya biosolar yaitu B40 yang signifikan.
Belum lagi, penerapan UMR minimal 6,5%, kenaikan PPN 12%, pengenaan devisa hasil ekspor (DHE) 100% selama 12 bulan, serta ketergantungan pada fluktuasi harga nikel global, di mana harga nikel semakin mengalami penurunan.
“Sebainya kebijakan kenaikan royaltis mempertimbangakan juga komponen yang disampaikan di atas sehingga keberlanjutan hilirisasi dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang diharapkan,” terangnya.
Dalam hal ini, pemerintah juga dinilai harus membantu pengusaha untuk memberikan dividen sesuai dengan perjanjian sewaktu mengajak investor ke projek tambang nikel, dengan berkurangnya keuntungan akan terjadi pengurangan dividen kepada pemegang saham.
“Akan banyak investor mundur dari industri nikel karena regulasi inkonsisten dan tidak ada regulasi yang menjamin keberlangsungan berusaha,” pungkasnya.