Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah berkomitmen memperkuat hilirisasi mineral dengan menjadikan bauksit sebagai salah satu komoditas strategis dalam peta jalan pengembangan industri nasional.
Dengan cadangan besar dan prospek pasar yang terus berkembang, bauksit dinilai memiliki peran kunci dalam mendorong penciptaan nilai tambah di dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menegaskan bahwa kebijakan larangan ekspor bijih bauksit dan penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan merupakan implementasi langsung dari amanat Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
“Larangan ekspor bijih bauksit sejak Juni 2023 bukan keputusan mendadak, tapi bagian dari transisi yang disiapkan sejak lama,” ujar Tri dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (30/4/2025).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, cadangan bauksit Indonesia mencapai sekitar 7,4 miliar ton, dengan 2,7 miliar ton di antaranya berstatus siap dieksploitasi. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan bauksit terbesar di dunia.
Tri menjelaskan, produksi bijih bauksit sempat menyentuh 31,8 juta ton pada 2022, namun setelah penerapan larangan ekspor, angka tersebut menurun menjadi 19 juta ton pada 2023, dan diperkirakan menyusut lagi menjadi 16,8 juta ton pada 2024.
Baca Juga
Kendati demikian, Kementerian ESDM optimistis angka ini akan kembali meningkat seiring masuknya proyek-proyek hilirisasi baru yang telah mendekati tahap operasional.
Selain itu, Kementerian ESDM tengah mengevaluasi pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2024–2026 dari perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) bauksit.
Rencana produksi nasional tahun ini diperkirakan sekitar 14 juta ton, menyesuaikan dengan kapasitas input dari fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) yang saat ini berada pada level 13,88 juta ton per tahun.
Produksi ini berasal dari sekitar 15 hingga 16 perusahaan tambang bauksit yang telah memiliki afiliasi dengan smelter alumina. Saat ini, terdapat empat smelter bauksit yang telah beroperasi secara komersial, dengan total kapasitas input mencapai 13,88 juta ton per tahun, menghasilkan 4,3 juta ton smelter grade alumina (SGA).
Beberapa smelter tersebut antara lain, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (Ketapang), PT Indonesia Chemical Alumina (Tayan) dan PT Bintan Alumina Indonesia (Bintan).
Namun demikian, kapasitas pengolahan alumina menjadi aluminium di dalam negeri masih terbatas. Pasalnya, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) di Kuala Tanjung merupakan satu-satunya produsen aluminium nasional dengan kapasitas input alumina sekitar 500.000 ton per tahun.
Di sisi lain, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) juga memainkan peran penting dalam rantai hilirisasi ini.
Direktur Utama Antam, Niko Kanter menjelaskan bahwa pihaknya terus berkomitmen memperkuat rantai nilai bauksit, dari hulu hingga ke produk alumina.
"Antam telah mencatatkan produksi bauksit sebesar 1,3 juta wet metric ton (WMT) pada 2024, dengan penjualan 0,7 juta WMT. Kami juga memiliki segmen hilir bersama Indonesia Chemical Alumina (ICA), dengan produksi mencapai 148 ribu ton dan penjualan 177 ribu ton alumina," ujar Niko, dalam keterangan tertulis.
Antam juga menjadi salah satu pemilik saham di PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), yang saat ini telah memasuki tahap transisi ke operasi komersial. BAI telah berhasil melakukan produksi trial alumina dan mengirimkan 21 ribu ton perdana ke PT Inalum untuk pengujian kualitas.
"Dengan kehadiran BAI, ekosistem hilirisasi aluminium nasional menjadi lebih utuh. Bauksit kami olah menjadi alumina, dan selanjutnya diserap oleh Inalum menjadi aluminium. Ini adalah bentuk hilirisasi nyata yang berdampak langsung pada industri strategis nasional," tambah Niko.