Bisnis.com, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai smelter yang mangkrak menjadi penghambat dalam mendorong hilirisasi bauksit.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan pekerjaan rumah pemerintah dalam mengembangkan hilirisasi bauksit adalah menyelesaikan smelter yang masih mangkrak.
Kementerian ESDM mencatat terdapat sebanyak 12 smelter bauksit yang dikembangkan, tetapi baru empat yang beroperasi.
"Adapun, salah satu kendala pembangunan smelter bauksit adalah sulitnya mencari pendanaan. Bank domestik belum banyak tertarik dalam mendanai proyek hilirisasi bauksit," kata Bhima melalui keterangan resmi, Selasa (14/1/2025).
Menurutnya, pendanaan hilirisasi bauksit masih didominasi investor asing dalam pembangunan smelter.
Misalnya, merujuk laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di bidang hilirisasi sepanjang 2023 mencapai Rp375,4 triliun dengan angka paling banyak masuk ke sektor mineral, yakni Rp216,8 triliun.
Baca Juga
Bhima menuturkan investasi ini terbagi untuk pembangunan smelter nikel Rp136,6 triliun, smelter tembaga Rp70,5 triliun, dan smelter bauksit Rp9,7 triliun.
Dia berpendapat persoalan nasib hilirisasi bauksit juga memerlukan reformasi diberbagai aspek. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil bauksit terbesar di dunia.
Namun, kinerja ekspor industri pengolahan bauksit cenderung melemah pada 2023. Berdasarkan data terakhir, volume ekspor industri pengolahan logam dasar bauksit pada 2023 hanya 396,1 ton, turun 41,6% dibanding 2022 yang mencapai 678,5 ton.
Adapun nilai ekspornya pun turun 55,6% (yoy) dari US$1 juta menjadi US$448,4 ribu.
Oleh karena itu, Bhima mengingatkan pemerintah memberikan insentif investasi bagi investor untuk membangun smelter.
"Memberikan insentif fiskal secara selektif dan terukur kepada investor yang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri dengan catatan memiliki rencana transisi energi dan pengolahan limbah yang baik," kata Bhima.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberlakukan sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban membangun smelter sesuai tenggat waktu. Di sisi lain, pemerintah juga perlu membangun infrastruktur energi yang memadai.
"Seperti pembangkit listrik dari energi terbarukan, untuk mendukung operasi smelter yang membutuhkan energi besar [energy intensive industry]," kata Bhima.