Bisnis.com, JAKARTA — Industri kreatif yang terbukti kebal terhadap dampak ekonomi Covid-19, sukses mengatasi resesi global dan bahkan mungkin imun terhadap perang tarif saat ini adalah bisnis anime.
Pendapatan global anime mencapai US$28,6 miliar pada 2022 dan diperkirakan akan tumbuh rata-rata 9,8% dari 2023 sampai dengan 2030. Nilainya pada 2030 akan mencapai US$60 miliar.
Pasar terbesar tetap di Jepang dengan 60% total pendapatan. Namun, popularitas anime terus tumbuh di pasar global. Makin banyak seri anime diterjemahkan dalam berbagai bahasa sehingga pasar internasional merangkak tajam.
Salah satu anime fenomenal adalah “Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba”. Serial TV yang dikembangkan dari majalah manga Weekly Shōnen Jump dari Pebruari 2016 sampai Mei 2020 ini, dianimasikan oleh Ufotable dan sudah dibuatkan tiga judul film versi layar lebar.
Komik manganya terjual lebih dari 150 juta kopi dalam bentuk cetak maupun digital. Dan salah satu filmnya, Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba the Movie: Mugen Train yang meraup pendapatan US$570 juta pada 2022, tercatat sebagai anime terlaris kedua sepanjang masa. Pada tahun yang sama, seluruh waralaba Demon Slayer mencetak pendapatan sebesar US$8,75 miliar.
Strategi Demon Slayer
Anime berlatar belakang Jepang di era Edo ini menceritakan perjalanan seorang remaja laki-laki bernama Tanjiro Kamado menjadi pembasmi iblis (hashira) setelah keluarganya dibunuh oleh iblis dan adik perempuannya dirubah menjadi iblis.
Baca Juga
Untuk memerangi kelompok iblis yang terdiri dari 12 iblis utama dibawah pimpinan Muzan, Tanjiro bersama hashira lainnya harus menguasai lebih dari sepuluh varian teknik pernapasan agar bisa mengalahkan para iblis dengan berbagai macam karakter dan keahlian tersebut.
Mirip dengan strategi Manajamen Safari (Mintzberg, 1998), teknik pernapasan yang dipraktekkan oleh para hashira di Demon Slayer menjadi semacam strategi unik yang efektif untuk mengalahkan tantangan bisnis tertentu.
Iblis dalam Demon Slayer adalah perlambang yang mencerminkan tantangan dalam dunia bisnis modern. Enam iblis papan atas sebetulnya adalah “demon” dalam dunia bisnis yang kejam, licik, rakus, provokatif, merusak, sulit diatasi dan selalu beradaptasi.
Iblis ranking ke-3 Akaza, misalnya, adalah cerminan budaya toxic yang mengagungkan kerja tanpa henti, menghukum kerentanan, dan mendorong orang melampaui batas mereka. Iblis lainnya, Doma rangking ke-2, menggambarkan dunia bisnis yang penuh berita palsu, penipuan, pemasaran yang manipulatif, perusahaan yang terlihat etis tetapi melakukan banyak kerusakan.
Contoh lainnya adalah Kokushibo, iblis peringkat satu ini mewakili otomatisasi yang berlebihan, mengganti orang sepenuhnya dengan teknologi, dan memperlakukan pelanggan dan karyawan sekedar kumpulan angka dan data.
Strategi Pernapasan Fleksibel
Bagaimana jika iblis itu berupa kebijakan tarif Trump? Maka pelaku bisnis akan menghadapi ancaman yang sangat serius dan destruktif; ini adalah iblis sakti yang nyata saat ini. Iblis kelas dunia seperti ini akan merusak iklim perdagangan bebas; menganggu mata rantai pasokan, menciptakan ketidakpastian dan ketidakstabilan, meningkatkan volatilitas harga, menaikkan risiko perang tarif antar negara dan berpotensi membunuh sektor-sektor usaha yang tidak kompetitif di berbagai negara.
Seperti halnya para hashira yang beradaptasi mengembangkan berbagai variasi teknik pernapasan untuk menghadapi musuh yang berbeda, pelaku bisnis harus mengadopsi strategi bisnis yang tangguh dan fleksibel.
Mengambil tingkat ke-4 teknik pernapasan yang adaptif di seri Demon Slayer, perang tarif bisa dihadapi dengan strategi “global flexibility”. Pertama, diversifikan rantai pasokan dan target pasar, jangan tergantung hanya kepada satu negara atau vendor.
Vietnam, India, Meksiko, Eropa Timur adalah sumber-sumber alternatif yang perlu diekplorasi. Kawasan Timur Tengah, Asia Pasifik dan Afrika adalah pasar alternatif yang potensial.
Kedua, rekayasa tarif bekerjasama dengan perusahaan logistik dan konsultan perdagangan untuk melakukan klasifikasi produk-produk berdasarkan kategori tarif terendah. Diharapkan perusahaan akan mempunyai struktur biaya yang optimal untuk segmentasi produk sesuai dengan target pasar.
Ketiga, lokalisir sebisa mungkin bisnis dengan memindahkan sarana produksi dan perakitan sedekat mungkin dengan pasar dan target konsumen.
Dalam era perang tarif seperti sekarang, keputusan untuk membangun basis produksi di Amerika untuk pasar Amerika misalnya akan sangat signifikan menaikkan keunggulan daya saing perusahaan.
Keempat, berbagi biaya secara cerdas dengan pelanggan. Strategi ini bisa dilakukan misanya dengan menyesuaikan harga secara perlahan atau menawarkan harga berjenjang. Cara lain adalah dengan memaketkan produk atau layanan untuk menutupi kenaikan harga akibat disinsentif tarif perdagangan.
Strategi cost keadership (Porter, 1985) bukan teori usang yang terlupakan namun masih relevan saat ini jika implementasinya tepat.
Selain strategi di atas, ibarat para hashira yang selalu memetakan pergerakan para iblis, pelaku bisnis perlu membuat “scenario planning” (Schwartz, 1991) dengan bermacam prediksi; bagaimana jika tarif terus naik? Bagaimana jika negara lain melakukan pembalasan? Bagaimana jika pasokan turun kebih dari 20% akibat peramg tarif berkepanjangan?
Perang tarif ini bukanlah “iblis” yang dihadapi oleh satu perusahaan, satu industri atau satu negara saja tetapi musuh bersama hampir semua negara. Maka peningkatan lingkar pengaruh dan penguatan advokasi adalah strategi yang mendesak untuk dilaksanakan.
Bermitra dengan koalisi industri akan membuat kesepakatan lobbi perdagangan lebih baik hasilnya. Dalam konteks negara, Indonesia sudah mulai melakukannya bersama Asean, begitu juga negara-negara Eropa dalam wadah Uni Eropa. Sebagaimana para hashira yang selalu bertempur bersama, kekuatan bisnis akan jauh lebih kuat dalam suatu kelompok.
Bagaimana pendapat Anda?