Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan tarif perdagangan resiprokal yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi global tahun 2025.
Salah satu lembaga analis ekonomi global CEIC bahkan memperkirakan peluang resesi ekonomi global yang cukup tinggi, walau berbeda setiap negara.
Peluang terjadinya resesi ekonomi di Meksiko, Jerman dan Kanada berkisar 50%, peluang resesi di Jepang, AS dan Rusia berkisar 30%, peluang resesi di Brasil, China, dan Thailand berkisar 15%, dan peluang resesi di Indonesia dan Malaysia berkisar 5%.
Risiko ketidakpastian ini dipicu oleh instabilitas geopolitik, proteksionisme negara maju yang memengaruhi rantai pasok dan perdagangan komoditas global, serta pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi tinggi, yang justru berimbas lebih buruk.
Bagi Indonesia, tarif perdagangan resiprokal 32% diperkirakan berdampak sangat besar pada kinerja perekonomian Indonesia, utamanya sektor pangan dan pertanian.
Kebijakan tarif baru perdagangan internasional tersebut akan berlaku mulai 9 April 2025 pukul 12.01 AM waktu AS. Artinya, jika tarif awal barang Indonesia yang masuk ke AS telah dikenakan 5%, maka dengan tarif baru resiprokal 32%, maka total tarif yang harus dibayar Indonesia adalah 37%. Bursa saham dunia jatuh secara serentak, termasuk bursa saham Indonesia.
Baca Juga
Nilai tukar rupiah langsung melemah, melampaui Rp17.200 per dolar AS, bahkan dikhawatirkan terus memburuk, jika cadangan devisa Indonesia telah makin menipis.
Bursa saham Asia masih jatuh, bahkan pada awal pembukaan pada pekan kedua bulan April 2025. Bursa saham Jepang sempat jatuh 8%, bursa saham Hong Kong terjun bebas 10%. Perdagangan dunia mengalami kontraksi, harga-harga komoditas dunia anjlok, karena perekonomian dikhawatirkan memasuki fase resesi.
Presiden Donald Trump justru menganggap kondisi volatilitas perekonomian global saat ini sebagai revolusi ekonomi, yang akan dimenangkan oleh AS. Langkah yang dilakukan Trump lebih banyak ideologis, yang dilandasi anggapan bahwa perdagangan dunia makin tidak adil, karena banyak negara di dunia justru memanfaatkan keterbukaan perdagangan AS, sementara manfaat ekonomi yang diperoleh AS tidak sebesar manfaat yang diperoleh negara-negara mitra dagang AS. Apakah argumen hegemoni kepentingan global AS seperti itu akan memperpaiki ekonomi AS atau bahkan menjadi bumerang, waktulah yang akan menentukan.
Hal yang menarik adalah bahwa China secara terbuka telah menerima tantangan Trump dan melakukan kebijakan tarif retaliasi (balasan)sebesar 34% untuk seluruh perdagangan barang dengan AS. Apalagi mata Renminbi, mata uang China kini semakin menguat dan seakan memperoleh momentum untuk menjadi referensi perdagangan global. Terlebih lagi, mulai 10 April 2024, China menerapkan kontrol ekspor atas logam tanah jarang (rare earth metals) dengan AS, yang berguna bagi “perang teknologi” masa depan, baik bagi mobil listrik, maupun bagi senjata rahasia dan peralatan militer lainnya.
Artikel ini menganalisis dampak kebijakan tarif baru AS bagi sektor pangan dan pertanian Indonesia dan strategi manajemen krisis dan rekomendasi yang perlu dilakukan.
Selain produk elektronik, pakaian jadi, dan sepatu, ekspor Indonesia ke AS cukup besar, mencapai US$ 26,3 miliar atau sekitar 10% dari total ekspor Indonesia ke pasar global. Tarif baru resiprokal AS akan berakibat pada penurunan ekspor Indonesia cukup besar, yang berdampak pada sektor industri dan lapangan kerja Indonesia. Angka 10% pangsa ekspor ke AS tidak seharusnya dilihat kecil atau sebelah mata, karena kelalaian mengelola dampak buruk tarif resiprokal ini dikhawatirkan membawa dampak berantai yang lebih buruk.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024, nilai ekspor produk pangan-pertanian Indonesia ke AS meliputi minyak sawit dan turunannya US$ 1.3 miliar (4,9%), ban dari karet US$ 800 juta (3%), alas kaki bersol karet US$792 juta (3%), krustasea udang-kepiting US$ 751 juta (2,8%), krustasea lain—kerang-tiram dengan dan tanpa cangkang US$ 685 juta (2,6%), karet alam US$ 673 juta (2,6%).
Dampak buruk kebijakan tarif baru AS ini adalah penurunan kinerja ekspor produk pangan penting seperti minyak sawit, produk dari karet, hasil laut dan karet alam yang selama ini menjadi andalan devisa Indonesia. Pelaku usaha perlu terus didorong dan difasilitasi untuk berunding dan menyelesaikan kontrak dagang yang telah disepakati sebelumnya. Pemerintah dan dunia usaha dibantu akademisi perlu terus-menerus melakukan diplomasi, berunding dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR=United States Trade Representatives). Usulan usulan konkrit kerjasama perlu disampaikan untuk meringatkan dampak bagi perekonomian Indonesia.
MANAJEMEN KRISIS
Salah satu substansi diplomasi atau negosiasi dengan AS adalah kerangka kerja sama Asean-US TIFA (Trade and Investment Framework Agreement) yang menjadi kesepakatan dengan seluruh negara Asean. Pembicaraan awal Indonesia dengan Malaysia telah dilakukan, sehingga seluruh negara Asean perlu bersatu untuk memanfaatkan diplomasi. Kerangka TIFA adalah “dokumen hidup” yang dapat disempurnakan untuk mencapai manfaat ekonomi lebih luas, akses pasar, hak kekayaan intelektual, investasi, perdagangan barang dan jasa, dan ketenagakerjaan dan lingkungan hidup. Indonesia dan Asean tidak harus melakukan retaliasi terhadap kebijakan tarif Trump karena pintu diplomasi masih tetap terbuka.
Diplomasi khusus dengan Pemerintah AS dalam hal kebijakan non-tarif (Non-Tariff Measures-NTM) perlu terus dilakukan, misalnya tentang local content atau tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Indonesia perlu secara terbuka melakukan relaksasi TKDN untuk sektor teknologi informasi dan komunikasi dari AS, yang pernah dipermasalahkan oleh perusahaan raksasa Apple, General Electric (GE), Oracle, Microsoft dll.
Di dalam negeri, Indonesia perlu membenahi kebijakan dan peraturan perundangan tentang impor pangan yang tidak konsisten, di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Permentan 5/2022 masih mensyaratakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), Permendag 8/2024 tidak mensyaratkan RIPH, tetapi menggunakan data keseimbangan supply-demand, jika neraca komoditas (NK) belum tersedia pada saat dibutuhkan.
Perbaikan efektivitas kebijakan pembatasan impor gula putih dengan mekanisme NK, yang sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi industri gula domestik. Industri gula dapat mengimpor gula mentah untuk memproduksi gula rafinasi bagi industri pangan, berdasar alokasi Pemerintah sesuai kapasitas industri. Industri pangan dapat mengimpor langsung gula rafinasi dengan persyaratan ketat, termasuk penggunaan gula rafinasi tersebut.
Pekerjaan rumah untuk meningkatkan produktivitas pangan pokok dan strategis harus terus diselesaikan, sehingga kontroversi politis tentang impor beras, jagung dan kedelai yang melibatkan Perum Bulog dapat dikurangi. Energi bangsa dapat dimanfaatkan lebih efektif lagi untuk memperbaiki basis kebijakan ekonomi pangan yang fair dan beradab.