Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Duh! UNCTAD Sebut Perang Dagang Hambat Industrialisasi Negara Berkembang

Kebijakan tarif impor tinggi yang memicu perang dagang dinilai akan menghambat industrialisasi negara berkembang.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — United Nations Conference on Trade and Development alias UNCTAD mewanti-wanti kebijakan tarif impor tinggi yang memicu perang dagang seperti yang terjadi belakangan akan menghambat industrialisasi negara berkembang.

Dalam laporan terbaru bertajuk UNCTAD Global Trade Update March 2024, lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyatakan peningkatan tarif menghambat negara-negara berkembang untuk mengekspor barang-barang bernilai tambah sehingga memperlambat proses industrialisasi dalam negeri.

UNCTAD menegaskan bahwa tarif merupakan instrumen penting dalam kebijakan perdagangan internasional terutama untuk negara berkembang. Setidaknya, instrumen tarif bisa memberikan tiga manfaat penting bagi negara berkembang.

Pertama, tarif berfungsi sebagai sumber pendapatan negara melalui pajak langsung. Dalam banyak kasus, UNCTAD mencatat tarif memberikan kontribusi yang signifikan terhadap anggaran pemerintah, membiayai layanan penting seperti infrastruktur, perawatan kesehatan, dan pendidikan.

Kedua, tarif dapat bertindak sebagai instrumen kebijakan untuk mendukung industri yang baru berdiri. Dengan mengenakan bea masuk pada barang impor, industri dalam negeri bisa terlebih dahulu tumbuh sebelum bersaing secara langsung dengan pemain yang lebih mapan di pasar global.

Ketiga, tarif memengaruhi akses pasar dan negosiasi perdagangan. UNCTAD mencatat negara-negara berkembang sering kali menggunakan sistem perjanjian perdagangan yang rumit dan skema akses pasar preferensial yang menentukan tarif saat mengekspor barang.

Sebaliknya, banyak negara maju memberikan akses istimewa untuk ekspor dari negara-negara berkembang dan sektor-sektor tertentu—seperti pertanian dan pakaian—terus mengalami tarif tinggi. Akibatnya, kemampuan negara-negara berkembang untuk memperluas ekspor dan berintegrasi ke dalam rantai nilai global semakin terbatas.

Di sisi lain, UNCTAD turut menyampaikan bahwa bea masuk yang tinggi turut dapat meningkatkan biaya bagi pelaku usaha dan konsumen sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan daya saing.

UNCTAD melihat sudah menjadi pola umum bahwa barang olahan dikenai tarif tinggi, sementara bahan mentah dikenai tarif lebih rendah. Pola tersebut diyakini menghambat ekspor produk bernilai tambah dari negara berkembang sehingga menghambat upaya industrialisasi.

"Dalam konteks ini, para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang harus mencapai keseimbangan antara memanfaatkan tarif untuk pembangunan ekonomi dan berintegrasi ke dalam ekonomi global melalui liberalisasi perdagangan," tulis UNCTAD dalam laporan tersebut.

Lebih lanjut, UNCTAD melaporkan perdagangan barang mulai melambat pada kuartal IV/2024, sementara perdagangan jasa masih mempertahankan momentumnya yang kuat.

Sementara itu, data awal pada kuartal I/2025, menunjukkan pertumbuhan yang baik pada barang maupun jasa. Hanya saja, sebagian besar pertumbuhan itu diyakini merupakan antisipasi awal kebijakan tarif yang diberlakukan pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump.

Oleh sebab itu, UNCTAD mewanti-wanti eskalasi perang dagang akibat pergeseran kebijakan AS dapat meningkatkan ketidakseimbangan perdagangan global. Bahkan, ketidakpastian geopolitik akibat eskalasi perang dagang dikhawatirkan dapat memengaruhi pertumbuhan perdagangan global secara negatif.

UNCTAD mencontohkan pemerintah AS menaikkan tarif untuk baja dan aluminium. Diperkirakan, peningkatan tarif itu akan berdampak signifikan pada rantai nilai global dan regional.

Peningkatan tarif atas produk baja dan aluminium itu diyakini akan menyebabkan pergeseran dalam pola produksi dan pengadaan. Bagaimanapun, perusahaan dan pemerintah akan menyesuaikan diri dengan hambatan perdagangan baru dan berupaya mengurangi biaya tarif tersebut.

Bahkan, pada bulan-bulan pertama 2025, sudah terjadi penurunan permintaan pengiriman peti kemas sebagaimana tercermin dari penurunan signifikan dalam Shanghai Containerized Freight Index (SCFI). Penurunan SCFI menunjukkan pelemahanan volume perdagangan, yang menandakan perlambatan dalam aktivitas ekonomi global.

Selain itu, Indeks Baltic Dry yang melacak tarif pengiriman untuk komoditas curah seperti batu bara, bijih besi, dan biji-bijian juga masih berada di level yang relatif rendah dibandingkan 2024. UNCTAD meyakini fakta tersebut merupakan indikasi kuat akan terjadi kontraksi perdagangan global dan berkurangnya aktivitas ekonomi. 

"Karena permintaan yang lebih rendah untuk pengiriman curah biasanya berkaitan dengan output industri yang lebih lemah dan pertumbuhan yang lebih lambat di sektor-sektor utama," tulis laporan tersebut.

UNCTAD pun menyimpulkan ke depan perlunya kebijakan yang lebih seimbang dan kerja sama multilateral yang lebih kuat untuk mendukung perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper